Minggu, 03 November 2013

Perjalanan Tak Terduga ke Rajamandala

  

Dengan berkeyakinan bahwa setiap tempat adalah sekolah, aku pun ikut dalam rencana perjalanan yang dirancang oleh Boby dan Wienny. Awalnya, Wienny mengundang semua kakak-kakak Smipa untuk ikut serta. Namun pada hari h, yang ternyata bisa ikut adalah aku, Boby, Wienny, Rani, Pak Iwan, dan Pak Muklis. 

Tujuan perjalanan ini menurut Boby adalah berkunjung ke kampung halaman Pak Muklis. Setelah mendengar samar-samar kalau kampung halaman Pak Mulkis terletak di Padalarang, maka aku pun memberanikan diri mengendarai sepeda motor dengan berpasangan bersama Rani. Ini adalah pengalaman pertamaku mengendarai sepeda motor ke luar kota Bandung dengan jarak cukup jauh. 

Perjalanan pun dimulai dari Smipa sekitar pukul 07.00 di Sabtu pagi yang sedikit rintik-rintik. Pada waktu itu, Boby dibonceng Pak Iwan, Wienny dibonceng oleh Pak Muklis, dan aku dengan Rani pun menjadi pasangan yang tak terpisahan.

Selang beberapa lama, aku dan Rani menyadari bahwa kami menempuh jarak yang lebih jauh dari tujuan awal yang kami kira (Padalarang). Dengan kecepatan hanya 40km/jam, kami yang buta arah pun mengikuti jejak motor Pak Iwan. Setelah setengah jam perjalanan, kami melewati jalan yang biasa dilalui oleh mobil-mobil besar sehingga kami perlu bekerja sama agar bisa melewati jalan tersebut dengan selamat. Sebenarnya ada sedikit ketegangan melanda hatiku ketika melalui jalan tersebut, tapi aku mencoba fokus pada perjalanan dan tetap memelihara pikiran positif. Agar tidak kehilangan jejak motor Pak Iwan, aku meminta tolong kepada Rani mengintai setiap pergerakam motor Pak Iwan sehingga aku fokus berkendara sambil mendengarkan arahan Rani. 

Setelah sejam berlalu, tiba-tiba terjadi insiden ban motor Pak Iwan kempes. Tapi untunglah, di dekat lokasi insiden ada tempat tambal ban dan secara kebetulan ada juga warung bubur. Walaupun terjadi insiden dalam perjalanan, kami menikmati segala hal yang terjadi seperti nasehat yang selalu dikumandangkan oleh Boby. 

Sambil menunggu ban motor Pak Iwan kembali sehat, kami pun menikmati bubur ayam sebagai sarapan pagi yang menghangatkan. Di tempat inilah aku dan Rani kaget sekaligus bangga karena kami ternyata sudah sampai di Cipatat dengan sukses walaupun merasa sedikit ditipu hehehe. Jika dikenang kembali, aku sering berpikir kok kami (aku dan Rani) bisa sepemberani ini. Anggota tim yang lain pun memberi sorakan atas usaha besar yang kami telah capai.

Setelah makan bubur ayam, motor Pak Iwan pun mulai pulih kembali. Tanpa disangka juga, kampung halaman Pak Muklis ternyata sudah di depan mata. Kami hanya perlu menyebrangi jalan besar dari tempat kami makan bubur.

Perjalanan yang lebih seru pun dimulai. Bertepatan dengan dimulainya tema bertema desa di Smipa, kami merasa sangat beruntung karena bisa menjadi Kakak-Kakak yang membuka tema di desa kampung halaman Pak Muklis. Mendekati kampung halaman Pak Muklis, banyak sawah dan pemandangan indah yang mulai bermunculan. Rani, Wienny, dan Boby pun turun dari motor agar aku, Pak Iwan, dan Pak Muklis bisa berkonsentrasi melewati jalan pedesaan dan pematang sawah yang sempit.

Akhirnya setelah satu jam lebih menempuh perjalanan dari Bandung, tibalah kami di rumah bibi Pak Muklis. Kami pun disambut dengan ramah oleh bibinya Pak Muklis dan sempat bersalaman juga dengan para tetangga.Setelah beristirahat sejenak, kami pun kemudian tidak sabar untuk menjelajahi setiap pelosok desa, menikmati harum tanah yang gembur, dan belaian angin persawahan yang sejuk.

Mari kita mulai berpetualang
Lalu langsung saja kami menjejakan kaki di pematang sawah. Boby pun membuka alas kakinya dan kemudian diikuti oleh tim yang lain. Foto-foto narsis pun tidak dapat dihindarkan mumpung menemukan dengan pemandangan sawah yang elok. Tak jauh dari rumah bibinya Pak Muklis ini, terdapat sumber air yang masih digunakan oleh warga untuk minum sehari-hari. Setelah diteliti oleh Pak Iwan, ternyata banyak terdapat udang-udang kecil air tawar di tempat tersebut.

Mata air di dekat sawah
Di awal perjalanan kami, mulailah tumbuh mimpi-mimpi dari anggota tim untuk membeli sepetak tanah di tempat tersebut sebagai tempat tinggal menghabiskan hidup dengan kedamaian alam.

Sawah hijau membentang
Setelah melewati pematang sawah, kami pun melewati sebuah rel kereta api. Awalnya aku mengira bahwa rel tersebut sudah tidak digunakan lagi tetapi menurut informasi dari Pak Muklis, sampai saat ini rel tersebut masih dilalui oleh kereta api dengan intensitas 2 kali hari (pagi dan siang). Rel kereta api tersebut sebenarnya melewati jembatan Rajamandala yang terletak di atas sungai Citarum. Kereta api yang melintasi rel tersebut biasanya mengangkut penumpang dari arah Cianjur menuju stasion Ciroyom Bandung.Saat kami melintas, keadaan sekitar rel kereta api masih kosong sehingga kami manfaatkan dengan baik untuk berfoto ria.

Yuhu....berfoto ria di bawah langit biru
Setelah puas berfoto, kami pun melalui ladang yang banyak ditumbuhi oleh pohon coklat dan ada juga terong Belanda. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan seekor kucing yang sedang duduk sambil mengeong di bawah pohon coklat. Boby pun langsung mengeluarkan bekalnya yang terdiri atas kue-kue tradisional kesukaannya dan kemudian berbagi bekal dengan kucing tersebut.

Nyam...nyam kata si kucing
Seusai beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah jembatan kayu yang panjang yang. Di bawahnya terdapat sebuah sungai yang aliran airnya cukup deras. Aku pun memberikan kesempatan kepada Pak Muklis, Rani, dan Wienny untuk melaluinya terlebih dahulu agar aku memiliki kesempatan mengumpulkan keberanian untuk melaluinya (jauh dalam lubuk hatiku sebenarnya aku takut dengan ketinggian hehehe...).
Back light bridge
Akhirnya semua tim pun bisa melewati jembatan tersebut dengan selamat. Lalu sebagai hadiah, kami pun menikmati kesegaran air sungai.

Airnya menyejukkan walau keruh bercampur lumpur
Di balik bebatuan sungai yang rata-rata ukurannya cukup besar, aku pun menemukan banyak telur-telur keong emas yang sedang berjuang untuk hidup dan menunggu waktu menetas menjadi anak-anak keong yang lucu.

Telur keong
 Karena hari sudah semakin siang dan cukup terik, kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah salah satu sanak saudara Pak Muklis sambil berniat mencari air kelapa segar untuk menghilangkan dahaga. Sesampai di rumah saudara Pak Muklis yang menjadi tujuan kami, kami pun menemukan sebuah tempat penggilingan padi. Setelah sekian lama, baru akhirnya menemukan peralatan penggiling padi yang dulu sewaktu kecil sering aku lihat di kampung halaman di Bali. Ternyata, air kelapa segar yang kami idam-idamkan ternyata tidak ada. Lalu diganti dengan air dingin dari kulkas yang disuguhkan oleh saudara Pak Muklis. Selain air dingin mereka juga menyuguhkan kami makanan ringan pengganjal perut (wah mereka baik sekali  jadi terharu). 


Setelah puas berkeliling, kami memutuskan pulang kembali ke rumah bibinya Pak Muklis sebelum hari menjelang sore. Dalam perjalanan pulang, kami melewati kebun milik saudara Pak Muklis dan sempat kami mengikuti les kilat membuat ketupat di kebun tersebut dengan Pak Iwan dan Pak Muklis sebagai gurunya (mmm...ga ada kerjaan yah...hehehe). 

Les kilat membuat ketupat
Dalam perjalanan pulang, kami memilih penjalanan pulang yang sedikit mendebarkan yaitu menyebrangi sungai. Kami mencoba berhati-hati dan saling bahu-membahu melewati sungai tersebut karena licin dan arus yang cukup deras. Basah pun tak dapat dihindarkan. Rani sempat beberapa kali terjatuh dan sedikit cidera. Namun Rani tetap semangat melanjutkan perjalanan.Di ujung perjalanan, kami berfoto keluarga di sebuah saung (seru...sekali).

Mendebarkan melewati sunga yang deras
 
Foto keluarga di saung

Keluarga padi yang siap dipanen

Mencoba menjadi bebegig sawah

Fose Boby mengambil foto

Sesampainya di rumah bibinya Pak Muklis, makan siang yang lezat pun sudah siap tersaji. Dengan lauk ala kadarnya seperti tempe, ikan asin, sambal, dan mentimun, makan siang ini menjadi sangat istimewa karena disuguhkan dengan ketulusan hati dari tuan rumahnya. Boby pun mencoba meminta ijin kepada bibinya Pak Muklis untuk mencoba air segar dari mata air yang sebelumnya sempat kami lihat. Tak berapa lama kemudian, air kelapa segar pun datang. Terima kasih sekali kami ucapkan kepada Pak Muklis dan seluruh saudaranya yang telah mau menerima kami singgah.

Walau perjalanan ini singkat, namun selalu memberi warna baru pada kehidupan. Mengajarkan tentang pentingnya kebersamaan dan keberanian untuk mengatasi rasa takut dengan pikiran positif. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar