Senin, 17 Oktober 2011

Bertamasya ke Curug Penganten




Rio-Ajeng-Eet-Dhea-Kharis

Curug Penganten

Acara bertamasya ini dicetuskan setelah aku, Ajeng dan Dhea memutuskan untuk mengisi akhir pekan dengan bertamasya alam sambil mengunjungi kediaman Mbah Eet di Lembang.Kami mengajak si Emon untuk ikutan agar Dhila juga bisa ikutan, tapi sayang seribu sayang si Emon berhalangan gara-gara ada temannya dari KL alias Kuala Lumpur datang berkunjung ke Bandung dan otomatis Dhila pun ga bisa ikut karena ga ada kendaraan buat mengangkut.(si Emon emang bele...bele...)


Pada tanggal 16 Oktober 2011 sekitar jam 9, aku bertemu dengan Dhea di Setrasari dan dengan menunggangi "unyu beat" aku dan Dhea meluncur ke kediaman Mbah Eet.Sekitar jam 10 kami tiba di kediaman beliau dan rumahnya tampak sangat ramai karena ternyata ada acara syukuran tapi si Mbah lupa juga kalo hari itu ada syukuran di rumahnya (ya sudahlah).


Sambil menunggu Ajeng dan Rio datang dari gereja, kami bertiga memutuskan berbelanja sambil ngemil-ngemil sebentar. Setelah selesai belanja akhirnya Raj Stevi datang dan dengan sigap kami memakan cemilan yang telah dibeli. Lalu niat awal kami mau melihat si simba dan kelurganya di kebun belakang tapi kami malah ngerampok hasil kebon Mbah Eet seperti terong belanda,daun mint dan membabat tebunya mbah Eet yang manis...mmmm seger. Ternyata tak dinyana, Rio adalah salah satu ahli dalam dunia pertebuan, dengan sigapnya ia memotong tebu menjadi beberapa bagian lalu mengupas kulitnya dengan pisau yang tajam lalu mempersembahkannya untuk kami(hahaha...bagus...bagus... ).Eitz ternyata Ajeng dan Dhea bingung cara menghisap air tebu dari batangnya (yah dasar ndeso eh salah kota). Terdenger juga suara gonggongan dari para anggotanya si simba yang menyadari kehadiran orang-orang asing di rumahnya tapi untungnya  si simba masih mengenali aku (ih...jadi terharu).Saat asyik menghisap tebu tak bisa dihindari Ajeng berhasil bertemu dengan salah satu binatang lucu di dunia yang paling ia takuti yaitu ulat (untung tidak pingsan ya si ajeng).


Setelah puas membabat hasil kebon, kami berlima dengan menggunakan 3 ekor beat (snowy, unyubeat, dan beatnya si ajeng) lalu meluncur sekitar pukul 12.00 menuju daerah Katumiri untuk bisa melihat keindahan Curug Penganten. Konvoy beat ternyata menyenangkan sekali ya...
Jajan dulu
Pejalanan Awal
Sebelum treking dimulai kami jajan berbagai jenis makanan seperti cireng, seblak, tutut, dll (pokoknya buanyak banget jajannya dan setiap ada yang jualan disinggahi). Kami menitip motor di ibu yang jualan cireng lalu memutuskan treking ke tempat tujuan. Perjalanan dari tempat penitipan motor ke air terjun tidaklah terlalu jauh. Ritme perjalanan mengikuti tim terjunior yang baru pertama kalinya jalan-jalan ke curug yaitu Si Ajeng. Sebelum turun ke curug, kami beristirahat di pondok dekat tempat pembelian tiket masuk ke curug. Setelah istirahat barulah kami membeli tiket masuk seharga Rp 2.000 lalu turun melewati jalan setapak, agak mengecewakan sih karena sepanjang jalan banyak para pengunjung yang tidak bertanggungjawab yang membuang sampah sembarangan sehingga merusak keindahan alam yang sudah sepatutnya kita jaga bersama. 



Istirahat di Pondok


Saat tiba di curug ternyata airnya lagi surut dan warnanya kecoklatan namun hal tersebut tidak menyurutkan niat kami untuk menikmati keindahan curug ini apa adanya. Kami pun langsung berfoto-foto bersama tapi tidak berani berfoto di tempat curug yang agak dalamkarena takut terseret arus atau takut jika ada sesuatu yang bisa menarik kaki kami ke dalam pusaran jika berenang terlalu di tengah (hihihi). 



Smile.....
Kesempatan ini tidak sampai dilewatkan oleh Ajeng dan Rio untuk membuat foto prewedding meskipun weddingnya baru akan diselenggarakan tahun depan. Saat pengambilan gambar foto prewedding tersebut timnya adalah Mbah Eet sebagai fotografer, Dhea sebagai pengarah gaya dan aku sebagai pembuat efek percikan-percikan air (biar lebay gitu...).

Foto-Foto Prewedding Raj

Setelah puas-puas berfoto kamipun menikmati cemilan yang telah kami beli sebelumnya. Wow rasanya seru banget apabila bisa makan bersama-sama di alam terbuka dengan udara sejuk serta suara percikan air seperti yang kami bisa nikmati di curug penganten ini. Semakin asyik karena bisa makan tutut dan mangga yang muanis banget (meski hese banget ya makan tutut karena harus ditusuk atau dihisap...zzzztttt).


Waktunya Ngemil
Saat sibuk makan kami sempet mendengar suara cekikikan seperti suara orang tertawa dari tengah tebing-tebing curug tersebut. Hiiiii....angker sih seperti mitos yang sering beredar saat ini tapi kami berusaha tidak terlalu mempermasalahkan suara tersebut. 


Oya Curug Penganten terletak di Cimahi dan berada di ketinggian 1050 m dpl dan memilki ketinggian terjunan air sekitar 70 meter dengan jatuhnya air terlihat seperti kristal berkilauan ditimpa sinar matahari. Curug Panganten dapat dikatakan merupakan sambungan dari dua sungai yang mengalirinya. Di bagian atasnya adalah batas akhir sungai Cirende dan bagian bawahnya adalah hulu dari sungai Ciliung.  Bahkan batang akhir sungai Cirende sendiri ternyata tersusun dari tiga tangga curug, yaitu Curug Cirende, Curug Sewu dan terakhir Curug Panganten. Curug Cirende dan Curug Sewu tidak dapat dilihat langsung dari bawah, karena disamping ketinggiannya rendah, juga terhalang oleh tebing tinggi yang menjadi limpahan air terjun Curug Panganten.
          
Curug Penganten atau air terjun penganten menurut legenda dulunya berna Curug Sewu.Namun sebuah kejadian kemudian mampu mengubah nama Curug Sewu menjadi Curug Panganten.Konon, di lokasi tersebut pernah ada kejadian yang mengenaskan yakni kematian sepasang penganten yang jasadnya atak diketemuykan. Suatu waktu ada sepasang penganten yang tengah asyik berlayar di sungai (yang sekarang menjadi Curug Panganten) sambil bersenda gurau sehingga perahu yang mereka tumpangi menjadi goyang dan terseret arus. Arus sungai yang tengah deras membuat keduanya tak bisa diselamatkan. Dan mereka pun akhirnya meninggal namun jasadnya tak ada yang berhasil menemukan. 
           
Nah setelah hari mulai senja kami meutuskan untuk pulang,tapi perjalan pulang yang rada menanjak membuat si Ajeng ngos-ngosan namun ia berhasil melalui semuanya. horeeee....selamat ya jeng... 




Hari yang menyenangkan karena bisa melalui semua keindahan dan kebersamaan bersama kalian teman-teman. Terima kasih semua.







  

Jumat, 19 Agustus 2011

Merah Putih di Puncak Gunung Manglayang

Merah Putih di Puncak Manglayang 17 Agustus 2011
Selama bulan Agustus ini, beberapa kali diserang berbagai macam penyakit mulai dari sakit kepala, sakit perut, mual-mual sampai sakit karena si gigi bungsu. Jadi suatu hari langsung aja ke beberapa dokter sekaligus sampai-sampai si dokter bingung "kok kamu sakitnya komplit banget sih?" (ya meneketehe dok). Kata dokter sih segala sesuatu termasuk sakit bersumber dari pikiran kita yang ruwet (mungkin saja sih dok).


Dengan berbagai pertimbangan dan memelas ke si mami agar dikasi kesempatan untuk pergi melepaskan pikiran yang ruwet makanya aku akhirnya ikut bergabung ke acara naik gunung bersama Ibu Wiwit dan kawan-kawan yaitu Gunung Manglayang. Aku, Ibu Wiwit, Taufik, dan Bang Asep berangkat dari Halte Bus Damri Jalan Dipati Ukur (depan UNPAD) menuju ke arah Jatinangor. Bus Damri yang dilengkapi AC seharga Rp 5.000 ini tampak sangat sesak oleh penumpang namun kami masih beruntung karena berhasil kebagian tempat duduk paling belakang. Perjalanan ditembuh sekitar satu setengah jam dan kami tiba di Jatinangor sekitar pukul 18.30 (buka puasa di bus). Di Jatinangor sudah menanti ketua rombongan kita yaitu Yudi.


Pukul 19.00 kami langsung saja meluncur ke kaki Gunung Manglayang dengan menggunakan carter angkot Rp 15.000/orang. Kaki gunung Manglayang terlihat sangat sepi tanpa satu pun ada jejak pendaki, mungkin karena hanya kamilah sekumpulan orang-orang yang aneh yang sempat-sempatnya naik gunung padahal sedang bulan puasa. Meskipun aku ga puasa tapi aku agak sedikit aneh juga sih karena mencari kesembuhan dari sakit gigi dengan jalan mendaki gunung (ha...ha...ha...dasar si kx yang aneh).


Sebelum pendakian dimulai kami berbuka puasa bersama dengan menu botram yang dibawa masing-masing tim. Ibu Wiwit sebagai ibu-ibu gaul yang perhatian sekali merasa sangat menyesal gara-gara lauk pauk yang dibawanya ketinggalan di rumah jadi hanya bisa berbuka dengan mie goreng deh....(tapi ga apa-apa bu...yang penting tetap enak kok).



Buka Puasa Bersama

Setelah istirat sejenak sambil menikmati sisa sinar bulan purnama di langit, kami pun memulai pendakian malam sekitar pukul 21.20. Semua peralatan disiapkan mulai dari jaket, sarung tangan dan yang terpenting headlamp. Pendakian malam sangat terasa mengasyikkan karena tidak terlalu panas seperti siang hari dan kita bisa menikmati suara alam di sekitar termasuk suara lagu di radio yang sekaligus senter yang dibawa oleh Kang Asep (hihihi....jadi kepengen itu senternya).


Istirahat sejenak

Pendakian Malam

Bersama Menyusuri Hutan
Kami menikmati perjalanan malam dengan foto-foto selama perjalanan. Medan yang dilalui langsung banyak tanjakan dan hampir tanpa bonus dengan kemiringan sekitar 45-75 derajat. Untung tidak hujan sehingga jalan yang kami laui tidak licin. Beberapa kali kami sempet beristirahat di tempat yang agak datang sambil menikmati suasana malam.


Pendakian Dengan Kemiringan 45-75 Derajat
Malam di Puncak Manglayang
Kami pun tiba di puncak 1 sekitar pukul 22.40 dan aku langsung bersyukur karena masih diijinkan menapakan kaki di puncak ini untuk kali kedua.Kami semua langsung terkagum-kagum melihat suasana kota bandung yang berhias gemerlap lampu-lampu malam dari puncak Gunung Manglayang. Kamera-kamera pun segera beraksi menangkap moment indah seperti ini. Tapi ada yang disayangkan, dibalik gemerlap lampu-lampu kota Bandung tenyata membuat tidak semua bintang bisa kami lihat di langit karena mungkin terlalu silau.


Mendirikan Tenda 
Menyumput Minuman Hangat di Puncak

Setelah puas mengambil pemandangan kota Bandung dan sekitarnya yang indah di kala malam hari, kami pun langsung mendirikan tenda. Tenda perdana milik Ibu Wiwit ini pun langsung berdiri tegak di atas puncak Gunung Manglayang. Lalu kami pun menikmati suasana malam itu sambil menyumput minuman hangat (kopi, teh, STMJ dan bandrek) sambil ditemani beberapa makanan ringan lainnya. Setelah perut kenyang, aku dan Ibu Wiwit pun langsung menggelar SB di tenda yang kapasitasnya 3 orang tapi menurut ibu sih kayaknya cukup untuk 5 orang kalo didesak-desakin sedikit. Taufik pun akhirnya ikut masuk ke dalam tenda untuk tidur namun selang beberapa lama dia akhirnya menyerah karena posisi badan yang tidak bisa digerakkan akibat badannya tidak seimut dan segeulis Ibu Wiwit. Yah jadi kami berdua saja yang tetap berdiam di dalam tenda dan 3 cowok tangguh memutuskan untuk tidur di luar tenda berselimutkan SB. Suasana di dalam tenda sebenarnya cukup dingin karena saat itu tenda yang kami berdiri tepat di puncak gunung yang lapangan yang terbuka dan tidak ada pepohonan yang bisa menghalangi angin masuk melewati celah-celah kecil di tenda dan SB (jadinya kedinginan juga deh). 


Sekitar pukul 02.00 subuh, terdengar keributan dari luar tenda dan ternyata ada pendaki-pendaki lain yang masih sempat-sempat mendaki di bulan puasa ini. Mereka juga menggelar tenda di puncak dekat kami mendirikan tenda. Nah selang beberapa saat kemudian terdengar juga jeritan kepuasan kembali dari luar tenda, ternyata banyak juga orang-orang aneh yang datang yang mana mereka adalah mahasisiwa yang ingin juga menikmati keindahan malam itu di atas puncak timur Gunung Manglayang ini. 


Saur Bareng
Menu Saur


Akhirnya mendengar suara gaduh dari luar tenda, aku pun ikut terbangun. Pukul 03.00 kami menyiapkan makan saur bersama. Semua perbekalan di keluarkan dan dijadikan 1 paket untuk dimakan bersama. Aku sempat juga malam itu ada bintang jatuh biar bisa membuat sebuah permintaan tapi ternyata itu belum bisa terwujud, hanya ada cahaya pesawat yang berjalan pelan seolah-olah seperti bintang jatuh. Akhirnya setelah semua makanan menjadi 1 paket, kami pun melahapnya langsung (mmmm...enak ya kalo makan bersama). Di sebelah tenda para mahasiswa terdengar suara nyanyian yang diiringi gitar tanpa henti membuat mataku mengantuk kembali. aku pun kembali tidur di dalam tenda Lafuma yang berwarna oranye tersebut.


Ketika sang mentari mulai terbit, kami pun bersiap-siap melihat keindahannya. Namun sayang, kumpulan awan di langit menutupi keindahan sang mentari sehingga tak bisa terlihat dengan mata kita. Meskipun demikian kami sangat menikmati suasana pagi itu. Setelah membereskan tenda baru dan lain-lain. Kami kemudian berfoto bersama sambil mengibarkan bendera merah putih di Puncak Gunung Manglayang (1.600 mdpl) dalam memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 66. Tapi benderanya minjam ke pendaki yang lain(hehehehe...lupa bawa euy....). Tapi dengan meminjam kami menjadi kenal dan mereka menunjukkan jalan baru untuk kami turun gunung. Jalur baru ini sebenarnya jarang dilewati oleh para pendaki karena cukup menantang dan banyak jurang di pinggir kanan dan kirinya tapi kami memutuskan untuk mencobanya terlebih dahulu.


Pukul 06.08 kami pun bersiap turun gunung dengan menggunakan jarur yang diberi tahu oleh para pendaki yang meminjamkan kami bendera. Ternyata dengan melewati jalur ini, kami bisa menemui beberapa pohon bunga edelweis sepanjang tebing yang memiliki ketinggian sekitar 1.200 mdpl. Wah asyik ternyata tidak perlu jauh-jauh ke puncak gunung yang tinggi-tinggi untuk bisa menemukan bunga lambang cinta abadi ini (di Gunung Rakutak dan Gunung Manglayang juga bisa lho.....).


Bunga Edelweis

Setelah terbuai melihat keindahan bunga ini, di depan kami ternyata terbentang tebing-tebing tinggi yang kami harus lalui untuk bisa sampai kembali di kaki gunung. Dengan berbekal keberanian, kami berusaha menuruninya satu per satu dengan bantuan webbing juga. Lalu setelah satu tantangan dilalui, ternyata masih ada tebing lain yang tidak kalah menantang. Jujur aku sangat ngeri membayangkan kembali saat-saat menuruni tebing ini karena aku sendiri belum punya pengalaman untuk menuruni tebing selama ini. 

Perjuangan Menuruni Tebing Doa

Awalnya sempat kebingungan tentang bagaimana cara kami menuruni tebing ini, karena tebing ini terlihat sangat berbahaya bila dituruni tanpa peralatan dan pengalaman. Syukurnya di belakang kami ada para pendaki yang tadi meminjamkan kami bendera yang sebenarnya lebih mengenal jalur ini. Mereka kemudian membantu kami menuruni tebing ini. Kang adi yang lebih berpengalaman membantu kami step by step menuruni tebing. Aku sempat syok melihat perjuangan Ibu Wiwit yang berusaha menuruni tebing yang disebut oleh Kang Adi sebagai "Tebing Doa". Kenapa disebut "Tebing Doa', kata Kang adi sih dia sendiri yang memberi nama, menurutnya kita perlu banyak berdoa kepada Tuhan saat melewati tebing ini agar bisa selamat. Saat giliranku tiba menuruni tebing ini, aku sudah pasrah saja kepada Tuhan dan aku mencoba menuruni tebing ini dengan tenang. Akhirnya aku bisa turun dengan selamat berkat bantuan semua teman-temanku (makasi ya)...dan sampai di bawah aku masih terlihat pucat pasi.



Batu Singa

Setelah melewati Tebing Doa ini, di depan kami terbentang Batu Singa yang merupakan salah satu jalan untuk menuruni tebing yang lain menuju kaki gunung. Tapi akhirnya memilih jalur yang lebih aman walau sebenarnya ga aman-aman banget yaitu menyusuri "Jalur Frustasi". Jalur frustasi ini di pinggirnya ada jurang membentang sehinggga kami harus jalan menyamping untuk melintasinya dan berusaha menjaga sebaik mungkin keseimbangan kami. Saat kami berhasil melewati Jalur Frustasi ini, beberapa teman dari tim yang telah menyelamatkan kami memilih untuk menuruni tebing Batu Singa dan ternyata mereka berhasil dengan cepat melewatinya (wah hebat.....).


Petualangan selanjutanya adalah kami pun bersama-sama melanjutkan perjalanan akhir menuju kaki Gunung Manglayang. Sempat juga kami mengenal lebih dekat dengan anggota tim pendalki yang telah berhasil menyelamatkan nyawa kami. Selama perjalanan kami juga sempat melewati hutan bambu dan hutan pinus serta mengunjungi Perkemahan Situs  Batu Kuda. Kenapa diberi nama batu kuda? Konon kisahnya ada kuda yang dikutuk menjadi batu di tempat tersebut.
Eh ada Cowgirl


Hutan Pinus
Situs Batu Kuda
Pukul 10.00 kami akhirnya berjalan pulang menuju daerah Cibiru untuk mencari angkot menuju Bandung. Perjalanan dua setengah jam ini sangat melelahkan karena harus ditempuh dengan jalan kaki padahal kami sedang berpuasa bersama (termasuk aku, puasa karena sakit gigi) dan kebetulan tidak ada mobil bak terbuka yang bisa kami tumpangi. Pukul 12.30 kami akhirnya sampai di daerah Cibiru dan langsung mencari angkot menuju rumah kami masing-masing. Perjalanan yang sangat melelahkan ini sekaligus mengesankan serta menyimpan banyak kenangan dan pelajaran berharga ini akan aku ingat selalu. Meskipun perjalanan ini sangat melelahkan tapi kami puas karena semua anggota tim bisa pulang dengan selamat serta bisa menyelesaikan puasa sampai akhir. Wow hebat. 


Thumb up

[Kelompok Kancil] Kancil- Kancil Ikut Olimpiade


Tanggal 17 Agustus adalah hari yang spesial untuk memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Untuk memperingati hari tersebut biasanya kita mengadakan upacara bendera di sekolah serta dimeriahkan juga dengan berbagai macam lomba. 


Pada ulang tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke 66 tahun ini, Kelompok Kancil diajak ikut berpartisipasi mengikuti Olimpiade Permainan Desa yang diadakan di Semi Palar. Olimpiade Permainan Desa yang bertepatan dengan tema Desa Irama Rasa ini terdiri dari beberapa macam lomba yang mengangkat permainan-permainan tradisional  desa yang dari tahun ke tahun tak pernah lekang oleh waktu seperti lomba balap karung, memindahkan kelereng menggunakan sendok, memasukkan sumpit ke dalam botol, gebuk bantal dan lompat tali.


Pada tanggal 18 Agustus 2011 kemarin, Kelompok Kancil berkesempatan mengikuti olimpiade memindahkan kelereng menggunakan sendok. Sebelum hari h, teman-teman Kelompok Kancil diberi kesempatan untuk latihan di rumah. Sebelum lomba dimulai, teman-teman Kelompok Kancil diajak juga mendengarkan lagu-lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera merah putih agar mereka bisa lebih bersemangat berjuang mengikuti olimpiade. 


Selain untuk memaknai hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, Kegiatan Olimpiade Permainan Desa ini juga bertujuan untuk membangun sportifitas dalam diri anak dan sekaligus juga untuk melestarikan permainan-permaianan tradisional desa. Oya ada hadiah yang unik juga loh bagi para atlet olimpiade yang berhasil juara dan yang belum juara juga tidak perlu bersedih karena sama-sama bisa mendapatkan hadiah menarik lainnya.


Ini dia suasana seru Olimpiade Permainan Desa yang diikuti oleh Kelompok Kancil.


Para Atlet Olimpiade Siap Berlomba

Ayo Maju Terus Pantang Mundur

Eh Atlet Biyan Lagi Ngapain ya ?




Selasa, 26 Juli 2011

Menyusuri Tebing Edelweis di Gunung Rakutak


Puncak Gunung Rakutak
Pada hari Minggu, 24 Juli 2011, pukul 05.30 kami berkumpul di depan RS Hasan Sadikin (bawah jembatan layang). Setelah semua tim yang terdiri dari Ibu Wiwit, Yudi, Yanstri, Agung, Jeffry dan aku berkumpul, kamipun menuju ke tempat tujuan hiking yaitu Gunung Rakutak yang terletak di Cijagong Desa Sukarame Cikuray Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung. Suasana pagi yang masih cukup senggang membantu mobil kami meluncur melewati tol menuju Buah Batu.

Cikuray

Tempat Menitipkan Mobil
Sebelum melakukan pendakian, anggota tim sarapan terlebih dahulu di warung soto. Pukul 08.10 kami pun memulai petualangan.Tahap awal kami memasuki perkampungan kecil lalu langsung disuguhi oleh beberapa anak tangga yang menanjak hingga akhirnya kami sampai di ladang para penduduk.Kamipun pemanasan melewati ladang cabe, sayuran, dan jagung.Kami langsung disuguhi dengan trek yang menanjak dan nyaris tidak ada bonus. Di pinggir jalan setapak tampak beberapa tomat segar tergeletak begitu saja nyaris terbuang jadi kami mengambil beberapa untuk dimakan...mmmmm... rasanya manis sekali dan kriuk2.

Istirahat Sejenak

Makan Tomat Segar
Setelah melepas lelah sejenak kami terus melaju melewati hutan pinus dan hutan alang-alang. Kulit kamipun tergores oleh ilalang yang tingginya melebihi kepala kami dan hutan ilalang ini sangat rapat serta banyak jebakan batman yang menghalangi tim perintis di depan.
Aku pun memutuskan memakai manset dan glove untuk mengurangi rasa sakit tergores ilalang, bebatuan dan tanaman berduri lainnya.Treknya memiliki kemiringan 45 derajat dan bahkan lebih,  tapi hal ini tidak mematahkan semangat kami untuk mencapai puncak. Sepanjang perjalanan pemandangannya sangat memukau karena cuaca hari itu cukup cerah. Tampak dari kejauhan 3 puncak Gunung Rakutak yang akan kami tuju.Namun ada yang kami sayangkan karena beberapa bagian hutan di sini pohonnya ditebang penduduk sekitar (kasian sekali pohonnya menangis).


Pembalakan liar

Aku dan Ibu Wiwit berhasil sampai di Puncak 1 sekitar pukul 11.00 dan kemudian disusul oleh tim lainnya. Sesampainya di Puncak 1, kami pun berpelukan seperti teletubies dan tidak lupa berfoto serta mengucapkan syukur atas kemahakuasaanNya. Kami beristirahat sejenak sebelum menuju ke Puncak 2 dan 3. Kami membuka perbekalan snack serta menyumput kopi serta teh hangat (wah seger banget rasanya). Beberapa saat dari kejauhan dari Puncak 2 datang segerombolan si bolang bersama 3 anjing peliharaan mereka.

Bertemu Para Bolang dan Anjingnya

Walaupun masih kecil mereka ternyata hebat karena berani menyusuri jembatan yang sangat curam yang mengubungkan Puncak 1 dan 2. Kami berfoto bersama para Bolang dan anjing-anjing mereka. ternyata mereka membawa tanaman kantong semar yang jarang aku lihat langsung sebelumnya.Sempat juga aku memberi makan anjing-anjing mereka yang tampak kurus dan kelaparan dengan memberi mereka biskuit jacob punyanya om jeffry (hi...hi...hi...). Sedangkan para bolang sendiri diberi beberapa snack dan uang jajan oleh Ibu Wiwit. Selanjutnya para bolang melanjutkan perjalanan mereka ke jalur yang berbeda dengan yang kami tempuh sebelumnya.

Snack dulu
Setelah mengisi tenaga sejenak, kamipun bersiap-siap menuju jembatan selebar 90 cm yang disebut dengan nama "jembatan sirhotolmustaqiem" yang menurut cerita bisa membuat adrenalin kita mendidih. 

Jembatan Sirhotolmustaqiem

Setelah dilewati ternyata jalur ini memang menegangkan seperti cerita karena jalur ini berupa jalan setapak yang sepanjang kiri kanannya terdapat jurang yang terjal. Jika kita salah melangkah kemungkinan kita masuk ke dalamnya. Namun kami ternyata bisa menghadapi jalur ini dengan cukup tenang dan saling memberikan peringatan satu sama lain apabila ada bagian dari jalur tersebut yang agak riskan untuk dilewati. Sempat juga kami mengambil foto sepanjang perjalanan kami berada di jalur tersebut. 


Foto Keluarga di Puncak 2


Perjalanan menuju puncak 2 ini sebenarnya tidak terlalu lama tapi karena kami mengambil banyak foto sehingga agak lama sekitar 30 menit. Setelah sampai puncak 2 terlihat pemandangan hutan yang agak tertutup lalu selang beberapa lama kami langsung menuju puncak 3 setelah mengambil beberapa foto keluarga bersama di Puncak 2.Ketika sampai di puncak 3 terlihat tidak terlihat lagi tulisan petunjuk Puncak 3 karena sudah pudar.Dari puncak tertinggi Gunung Rakutak yaitu sekitar 1957mdpl inilah kami melihat pemandangan sekitar Bandung. Jika dilihat dari atas tampak di bawah pepohonan yang mirip seperti kebun brokoli.

GPS menunjukkan ketinggian 1957 mdpl



Di Puncak 3
Kebun Brokoli
Kami lalu memutuskan untuk makan siang bersama di Puncak 2. Di Puncak 2 kami menikmati hidangan bekal yang kami bawa bersama. Ibu Wiwit seperti biasa membawa banyak perbekalan seperti ayam dan ikan goreng,tahu dan cumi goreng (sangat menggiurkan).

Menu Santap Siang
Pukul 14.00 kami memutuskan untuk berpisah dengan puncak 2 dan turun gunung melalui jalur yang dilewati para bolang sebelumnya. Jalur ini memutar sehingga jaraknya lebih jauh daripada jalur yang kami ambil sebelumnya ketika manaiki puncak 1. Namun jalur baru yang kami lewati ini meskipun jauh tapi memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa menyaksikan keindahan tebing yang ditumbuhi edelweis yang tampak sangat indah dan mengagumkan. Sungguh sangat jarang biasanya kita temui bunga edelweis bisa tumbuh di Gunung yang ketinggiannnya kurang dari 2000 mdpl. Bunga edelweis yang kami temui ternyata berada pada ketinggian 1500mdpl namun bedanya, bunga edelweis di tempat ini terlihat kurus dan daun-daunnya tidak selebar dan selebat yang terdapat di Gunung gede. Perjalanan turun yang sangat jauh namun memberikan kepuasan tersendiri. Kami tiba kembali di kaki gunung sekitar pukul 17.00 dan terlihat pemandangan matahari terbenam yang sangat indah dari kaki Gunung Rakutak.
Senja Di Kaki Rakutak
Flora Gunung Rakutak

Flora Gunung Rakutak
Selama perjalanan naik dan turun ada beberapa tim yang jatuh dan terpleset termasuk aku namun untungnya kami semua selamat. Yang terparah adalah Bu Wiwit yang sempat celananya robek dan kakinya luka karena jatuh diantara bebatuan serta sempat terjatuh terguling-guling diantara selokan ladang. Tapi hal itu sama sekali tidak mengurangi semangatnya untuk mendaki gunung. Salut sekali buat Bu Wiwit...patut dinobatkan sebagai maminya Gunung.

Bravoooo.