Jumat, 19 Agustus 2011

Merah Putih di Puncak Gunung Manglayang

Merah Putih di Puncak Manglayang 17 Agustus 2011
Selama bulan Agustus ini, beberapa kali diserang berbagai macam penyakit mulai dari sakit kepala, sakit perut, mual-mual sampai sakit karena si gigi bungsu. Jadi suatu hari langsung aja ke beberapa dokter sekaligus sampai-sampai si dokter bingung "kok kamu sakitnya komplit banget sih?" (ya meneketehe dok). Kata dokter sih segala sesuatu termasuk sakit bersumber dari pikiran kita yang ruwet (mungkin saja sih dok).


Dengan berbagai pertimbangan dan memelas ke si mami agar dikasi kesempatan untuk pergi melepaskan pikiran yang ruwet makanya aku akhirnya ikut bergabung ke acara naik gunung bersama Ibu Wiwit dan kawan-kawan yaitu Gunung Manglayang. Aku, Ibu Wiwit, Taufik, dan Bang Asep berangkat dari Halte Bus Damri Jalan Dipati Ukur (depan UNPAD) menuju ke arah Jatinangor. Bus Damri yang dilengkapi AC seharga Rp 5.000 ini tampak sangat sesak oleh penumpang namun kami masih beruntung karena berhasil kebagian tempat duduk paling belakang. Perjalanan ditembuh sekitar satu setengah jam dan kami tiba di Jatinangor sekitar pukul 18.30 (buka puasa di bus). Di Jatinangor sudah menanti ketua rombongan kita yaitu Yudi.


Pukul 19.00 kami langsung saja meluncur ke kaki Gunung Manglayang dengan menggunakan carter angkot Rp 15.000/orang. Kaki gunung Manglayang terlihat sangat sepi tanpa satu pun ada jejak pendaki, mungkin karena hanya kamilah sekumpulan orang-orang yang aneh yang sempat-sempatnya naik gunung padahal sedang bulan puasa. Meskipun aku ga puasa tapi aku agak sedikit aneh juga sih karena mencari kesembuhan dari sakit gigi dengan jalan mendaki gunung (ha...ha...ha...dasar si kx yang aneh).


Sebelum pendakian dimulai kami berbuka puasa bersama dengan menu botram yang dibawa masing-masing tim. Ibu Wiwit sebagai ibu-ibu gaul yang perhatian sekali merasa sangat menyesal gara-gara lauk pauk yang dibawanya ketinggalan di rumah jadi hanya bisa berbuka dengan mie goreng deh....(tapi ga apa-apa bu...yang penting tetap enak kok).



Buka Puasa Bersama

Setelah istirat sejenak sambil menikmati sisa sinar bulan purnama di langit, kami pun memulai pendakian malam sekitar pukul 21.20. Semua peralatan disiapkan mulai dari jaket, sarung tangan dan yang terpenting headlamp. Pendakian malam sangat terasa mengasyikkan karena tidak terlalu panas seperti siang hari dan kita bisa menikmati suara alam di sekitar termasuk suara lagu di radio yang sekaligus senter yang dibawa oleh Kang Asep (hihihi....jadi kepengen itu senternya).


Istirahat sejenak

Pendakian Malam

Bersama Menyusuri Hutan
Kami menikmati perjalanan malam dengan foto-foto selama perjalanan. Medan yang dilalui langsung banyak tanjakan dan hampir tanpa bonus dengan kemiringan sekitar 45-75 derajat. Untung tidak hujan sehingga jalan yang kami laui tidak licin. Beberapa kali kami sempet beristirahat di tempat yang agak datang sambil menikmati suasana malam.


Pendakian Dengan Kemiringan 45-75 Derajat
Malam di Puncak Manglayang
Kami pun tiba di puncak 1 sekitar pukul 22.40 dan aku langsung bersyukur karena masih diijinkan menapakan kaki di puncak ini untuk kali kedua.Kami semua langsung terkagum-kagum melihat suasana kota bandung yang berhias gemerlap lampu-lampu malam dari puncak Gunung Manglayang. Kamera-kamera pun segera beraksi menangkap moment indah seperti ini. Tapi ada yang disayangkan, dibalik gemerlap lampu-lampu kota Bandung tenyata membuat tidak semua bintang bisa kami lihat di langit karena mungkin terlalu silau.


Mendirikan Tenda 
Menyumput Minuman Hangat di Puncak

Setelah puas mengambil pemandangan kota Bandung dan sekitarnya yang indah di kala malam hari, kami pun langsung mendirikan tenda. Tenda perdana milik Ibu Wiwit ini pun langsung berdiri tegak di atas puncak Gunung Manglayang. Lalu kami pun menikmati suasana malam itu sambil menyumput minuman hangat (kopi, teh, STMJ dan bandrek) sambil ditemani beberapa makanan ringan lainnya. Setelah perut kenyang, aku dan Ibu Wiwit pun langsung menggelar SB di tenda yang kapasitasnya 3 orang tapi menurut ibu sih kayaknya cukup untuk 5 orang kalo didesak-desakin sedikit. Taufik pun akhirnya ikut masuk ke dalam tenda untuk tidur namun selang beberapa lama dia akhirnya menyerah karena posisi badan yang tidak bisa digerakkan akibat badannya tidak seimut dan segeulis Ibu Wiwit. Yah jadi kami berdua saja yang tetap berdiam di dalam tenda dan 3 cowok tangguh memutuskan untuk tidur di luar tenda berselimutkan SB. Suasana di dalam tenda sebenarnya cukup dingin karena saat itu tenda yang kami berdiri tepat di puncak gunung yang lapangan yang terbuka dan tidak ada pepohonan yang bisa menghalangi angin masuk melewati celah-celah kecil di tenda dan SB (jadinya kedinginan juga deh). 


Sekitar pukul 02.00 subuh, terdengar keributan dari luar tenda dan ternyata ada pendaki-pendaki lain yang masih sempat-sempat mendaki di bulan puasa ini. Mereka juga menggelar tenda di puncak dekat kami mendirikan tenda. Nah selang beberapa saat kemudian terdengar juga jeritan kepuasan kembali dari luar tenda, ternyata banyak juga orang-orang aneh yang datang yang mana mereka adalah mahasisiwa yang ingin juga menikmati keindahan malam itu di atas puncak timur Gunung Manglayang ini. 


Saur Bareng
Menu Saur


Akhirnya mendengar suara gaduh dari luar tenda, aku pun ikut terbangun. Pukul 03.00 kami menyiapkan makan saur bersama. Semua perbekalan di keluarkan dan dijadikan 1 paket untuk dimakan bersama. Aku sempat juga malam itu ada bintang jatuh biar bisa membuat sebuah permintaan tapi ternyata itu belum bisa terwujud, hanya ada cahaya pesawat yang berjalan pelan seolah-olah seperti bintang jatuh. Akhirnya setelah semua makanan menjadi 1 paket, kami pun melahapnya langsung (mmmm...enak ya kalo makan bersama). Di sebelah tenda para mahasiswa terdengar suara nyanyian yang diiringi gitar tanpa henti membuat mataku mengantuk kembali. aku pun kembali tidur di dalam tenda Lafuma yang berwarna oranye tersebut.


Ketika sang mentari mulai terbit, kami pun bersiap-siap melihat keindahannya. Namun sayang, kumpulan awan di langit menutupi keindahan sang mentari sehingga tak bisa terlihat dengan mata kita. Meskipun demikian kami sangat menikmati suasana pagi itu. Setelah membereskan tenda baru dan lain-lain. Kami kemudian berfoto bersama sambil mengibarkan bendera merah putih di Puncak Gunung Manglayang (1.600 mdpl) dalam memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 66. Tapi benderanya minjam ke pendaki yang lain(hehehehe...lupa bawa euy....). Tapi dengan meminjam kami menjadi kenal dan mereka menunjukkan jalan baru untuk kami turun gunung. Jalur baru ini sebenarnya jarang dilewati oleh para pendaki karena cukup menantang dan banyak jurang di pinggir kanan dan kirinya tapi kami memutuskan untuk mencobanya terlebih dahulu.


Pukul 06.08 kami pun bersiap turun gunung dengan menggunakan jarur yang diberi tahu oleh para pendaki yang meminjamkan kami bendera. Ternyata dengan melewati jalur ini, kami bisa menemui beberapa pohon bunga edelweis sepanjang tebing yang memiliki ketinggian sekitar 1.200 mdpl. Wah asyik ternyata tidak perlu jauh-jauh ke puncak gunung yang tinggi-tinggi untuk bisa menemukan bunga lambang cinta abadi ini (di Gunung Rakutak dan Gunung Manglayang juga bisa lho.....).


Bunga Edelweis

Setelah terbuai melihat keindahan bunga ini, di depan kami ternyata terbentang tebing-tebing tinggi yang kami harus lalui untuk bisa sampai kembali di kaki gunung. Dengan berbekal keberanian, kami berusaha menuruninya satu per satu dengan bantuan webbing juga. Lalu setelah satu tantangan dilalui, ternyata masih ada tebing lain yang tidak kalah menantang. Jujur aku sangat ngeri membayangkan kembali saat-saat menuruni tebing ini karena aku sendiri belum punya pengalaman untuk menuruni tebing selama ini. 

Perjuangan Menuruni Tebing Doa

Awalnya sempat kebingungan tentang bagaimana cara kami menuruni tebing ini, karena tebing ini terlihat sangat berbahaya bila dituruni tanpa peralatan dan pengalaman. Syukurnya di belakang kami ada para pendaki yang tadi meminjamkan kami bendera yang sebenarnya lebih mengenal jalur ini. Mereka kemudian membantu kami menuruni tebing ini. Kang adi yang lebih berpengalaman membantu kami step by step menuruni tebing. Aku sempat syok melihat perjuangan Ibu Wiwit yang berusaha menuruni tebing yang disebut oleh Kang Adi sebagai "Tebing Doa". Kenapa disebut "Tebing Doa', kata Kang adi sih dia sendiri yang memberi nama, menurutnya kita perlu banyak berdoa kepada Tuhan saat melewati tebing ini agar bisa selamat. Saat giliranku tiba menuruni tebing ini, aku sudah pasrah saja kepada Tuhan dan aku mencoba menuruni tebing ini dengan tenang. Akhirnya aku bisa turun dengan selamat berkat bantuan semua teman-temanku (makasi ya)...dan sampai di bawah aku masih terlihat pucat pasi.



Batu Singa

Setelah melewati Tebing Doa ini, di depan kami terbentang Batu Singa yang merupakan salah satu jalan untuk menuruni tebing yang lain menuju kaki gunung. Tapi akhirnya memilih jalur yang lebih aman walau sebenarnya ga aman-aman banget yaitu menyusuri "Jalur Frustasi". Jalur frustasi ini di pinggirnya ada jurang membentang sehinggga kami harus jalan menyamping untuk melintasinya dan berusaha menjaga sebaik mungkin keseimbangan kami. Saat kami berhasil melewati Jalur Frustasi ini, beberapa teman dari tim yang telah menyelamatkan kami memilih untuk menuruni tebing Batu Singa dan ternyata mereka berhasil dengan cepat melewatinya (wah hebat.....).


Petualangan selanjutanya adalah kami pun bersama-sama melanjutkan perjalanan akhir menuju kaki Gunung Manglayang. Sempat juga kami mengenal lebih dekat dengan anggota tim pendalki yang telah berhasil menyelamatkan nyawa kami. Selama perjalanan kami juga sempat melewati hutan bambu dan hutan pinus serta mengunjungi Perkemahan Situs  Batu Kuda. Kenapa diberi nama batu kuda? Konon kisahnya ada kuda yang dikutuk menjadi batu di tempat tersebut.
Eh ada Cowgirl


Hutan Pinus
Situs Batu Kuda
Pukul 10.00 kami akhirnya berjalan pulang menuju daerah Cibiru untuk mencari angkot menuju Bandung. Perjalanan dua setengah jam ini sangat melelahkan karena harus ditempuh dengan jalan kaki padahal kami sedang berpuasa bersama (termasuk aku, puasa karena sakit gigi) dan kebetulan tidak ada mobil bak terbuka yang bisa kami tumpangi. Pukul 12.30 kami akhirnya sampai di daerah Cibiru dan langsung mencari angkot menuju rumah kami masing-masing. Perjalanan yang sangat melelahkan ini sekaligus mengesankan serta menyimpan banyak kenangan dan pelajaran berharga ini akan aku ingat selalu. Meskipun perjalanan ini sangat melelahkan tapi kami puas karena semua anggota tim bisa pulang dengan selamat serta bisa menyelesaikan puasa sampai akhir. Wow hebat. 


Thumb up

5 komentar:

  1. kharis nulis juga toh tentang ini, baru baca :)

    BalasHapus
  2. kalo lagi mood aja nulisnya .... :-))

    BalasHapus
  3. Waw sudah lama,,tidak naik gunung mba
    Baru ngeh ada foto saya

    BalasHapus
  4. waduh...ga salah ini teh,ada foto kmi team saporokocot cbr dah brpa thn bru liat....mantap,semogga semua yg ada dlm foto ini dlm ke adaan sehat selalu...kapan reunian muncak bersama lg....

    BalasHapus
  5. Terimakasih...atas journey nya...kami jadi bernostalgia ketika itu...pengalaman baru dan kawan baru....tetap semangat dan salam lestari....dan kapan kita bisa melewati jalur itu bersama lagi hehehe....m

    BalasHapus