Minggu, 27 Juli 2014

Menengok Kediaman Sang Dewi (Rinjani)




 

Ini adalah perjalanan mendaki gunung terpanjang dalam sejarah pendakian saya karena lintas Pulau Jawa, Bali , dan Lombok. Perjalanan ini bermula dari Jakarta dengan menaiki kereta api ekonomi Matarmaja di Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Malang. Di pagi keesokan harinya, kami tiba di Malang. Sambil menunggu kereta berikutnya ke arah Banyuwangi, kami beristirahat sejenak di rumah salah satu teman di Malang (Mbah Keraton). Di siang harinya, barulah kami menuju Stasiun Banyuwangi Baru dengan menggunakan kereta ekonomi Tawang Alun. 


Ketika hari beranjak malam, akhirnya kami tiba di Banyuwangi yang tepatnya juga berada di Pelabuhan Ketapang. Perjalanan maraton pun terus dilanjutkan menuju Pelabuhan Gilimanuk Bali  dengan mengendarai kapal feri. Kurang dari sejam, kami pun mendarat di Pelabuhan Gilimanuk. Setelah menjalani pemeriksaan KTP, barulah kami mencari bus menuju Pelabuhan Padang Bai. Kami pun perlu menunggu sejenak hingga bus cukup banyak dinaiki oleh para penumpang. Menjelang pukul dua subuh, bus melaju dengan kencang menuju Pelabuhan Padang Bai Karangasem.  

Sekitar pukul enam pagi, tibalah kami di ujung timur Pulau Bali. Lalu perjalanan panjang sekitar 4 jam dengan menggunakan kapal feri pun dimulai kembali, menuju Pulau Lombok. 

Pemandangan memukau dari atas kapal feri





Lombok...here I come...

Executive seat

Kapal feri yang kami tumpangi kali ini cukup eksekutif. Hal ini bisa teramati dari kursi-kursi dan penumpangnya yang sebagian besar bule. Di kapal, kami bertemu dengan temen-teman seperjuangan yang memiliki tujuan yang sama yaitu Gunung Rinjani. 

Bertemu Raju (artis India)

Setibanya di Pelabuhan Lembar, kami mencarter mobil dan dilanjutkan dengan menaiki angkutan umum menuju Pasar Aikmal untuk melengkapi logistik pendakian. Dari Pasar Aikmal ini, kami menumpangi mobil pick up yang kebetulan ditumpangi juga oleh anak-anak remaja yang baru selesai belajar mengaji dan ada juga seorang ibu yang saat itu baru saja selesai berbelanja di pasar.


Teman-teman baru

Berdesakan dengan kerupuk di mobil

Tujuan kami selanjutnya adalah Sembalun yaitu tempat kami melakukan pendaftaran ijin pendakian. Perijinan untuk seorang pendaki lokal adalah sebesar Rp 5.000/hari dan kami pun membayar sebesar Rp 20.000 karena berniat mendaki selama 4 hari. Di tempat tempat perijinan ini, kami bertemu lagi dengan teman-teman seperjuangan (hore....). 

Setelah semua berunding, akhirnya kami memutuskan untuk memulai pendakian melalui jalur tidak resmi dekat Sembalun yaitu Bawaknau (hehehe....). Kami memilih jalur tersebut karena waktu yang bisa dihemat sekitar 2 jam perjalanan apabila dibandingkan dengan waktu pendakian melalui jalur resmi Sembalun. Namun pendakian ini baru akan dimulai esok harinya mengingat hari sudah malam dan kami pun perlu beristirahat memulihkan tenaga. Kami akhirnya  menginap di rumah salah satu penduduk lokal di Bawaknau yang kebetulan juga adalah seorang porter. 

Sekitar pukul sepuluh pagi, kami memulai pendakian. Pendakian dimulai agak siang karena kebetulan pagi itu hujan terus turun mengguyur kaki gunung. 

Dengan energi yang sudah diisi penuh, kami pun memulai pendakian dengan semangat. 

Yap...kami siap mendaki...semangat

Tidak ingin beranjak dari padang rumput ini

Memasuki negeri di atas awan


Tujuan pertama kami di hari pertama pendakian adalah menuju ke pos 3. Perjalanan awal menuju pos 1 terasa sangat menguras tenaga karena kebetulan jarak menuju pos 1 cukup jauh dibandingkan jarak dari pos 1 menuju pos 2 ataupun jarak dari pos 2 menuju pos 3. 


Bersitirahat dulu sambil cari persediaan air

Di setiap pos, kami menyempatkan diri untuk beristirahat dan menikmati pendakian yang pelan tetapi pasti. Di sepanjang perjalanan, terlihat begitu banyak wisatawan asing yang ikut serta dalam pendakian dengan ditemani oleh porter dan pemandu mereka. Di pertama, tercium semerbak aroma masakan yang khusus dibuat oleh para porter untuk tamu spesial mereka agar merasa nyaman (mmm....jangan iri yah!).


Meninggalkan pos yang banyak pendaki beristirahat


Sepanjang perjalanan, selalu ada sesuatu yang memikat mata saya untuk saya abadikan dalam ingatan ataupun jepretan kamera. Keindahan langit pegunungan menjadi salah satu inspirasi saya untuk tidak pernah jemu mendaki gunung meskipun itu melelahkan. Begitu banyak kerabat yang selalu mempertanyakan kenapa saya senang sekali mendaki gunung. Kepada mereka pun saya menjelaskan bahwa saya tidak mampu memberikan jawabannya karena kenikmatannya perlu dialami sendiri oleh segenap jiwa dan raga. 

Keindahan langit menjadi salah satu hal yang kerap memperbaharui semangat saya untuk terus melangkah. Lukisan langit mengingatkan saya tentang betapa indahnya alam yang telah diciptakan dan sudah sepantasnyalah kita merawatnya bersama. Namun sayangnya, dari awal saya memulai pendakian, banyak sekali sampah-sampah plastik maupun kulit buah (terutama nanas) yang dibuang begitu saja dan mengotori berbagai penjuru gunung. Bahkan, di sumber air pun dapat dengan mudah kita temui sampah-sampah yang membuat sumber air tersebut terlihat jorok. Padahal sumber air ini seharusnya perlu terus dirawat karena merupakan sumber kehidupan bagi semua satwa dan termasuk juga para pendaki.Di pos 2, sumber air hanya mengalir kecil di tengah-tengah gelimangan sampah sedangkan di pos 3, sumber air mengering dan tersembunyi di balik pasir.

Sesampainya di pos 3, kita bisa menyaksikan keindahan langit senja yang memukau dengan keliauan warnanya yang berubah setiap saat sebelum pada akhirnya kegelapan malam merayap menelan keelokannya. Di pos 3 inilah kami membangun tenda dan beristirahat. 





Ketika pagi menjelang, terlihat jelas pemandangan di sekitar pos 3. Suara pepohonan dan dedaunan kering mulai terdengar karena di balik itu semua tersembunyi monyet-monyet yang mengintai kami dari kejauhan. 

Setelah mencium aroma makanan yang kami bawa, monyet-monyet tersebut menyerbu kami dan meraih sisa-sisa makanan kami yang masih bisa mereka makan. Tak jarang mereka saling berebut dan melarikan makanan yang mereka bawa ke atas tebing-tebing yang tinggi sehingga tidak terjangkau oleh teman-teman mereka yang lain. Bahkan ada dari mereka yang sampai membongkar tempat sampah hanya untuk bisa meraup makanan. Tak jarang tempat tersebut kotor meskipun tempat sampah telah disediakan. Pemandangan tersebut sangat miris dan pastinya mereka melakukannya karena kekurangan sumber makanan di tempat tersebut.


Para monyet yang mengais makanan di tempat sampah (hiks...)

Setelah semua ritual pagi dilakukan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Plawangan yang menjadi tempat terdekat membangun tenda sebelum meraih puncak. Sore harinya kami tiba di tempat tersebut dan ternyata sudah banyak sekali para pendaki yang mulai menentukan lapak mereka masing-masing. Banyak juga berjejer tenda berwarna oranye yang kebanyakan disewa oleh tamu-tamu wisatawan asing. 


Suasana berkabut saat memasuki Plawangan 

Wah asyik...ada pos untuk tempat istirahat

Akhirnya bisa duduk juga
                                   

Bingung mencari lapak

Narsis dulu

Hai...ini Mbak yosi


Di Plawangan ini,  bisa ditemui juga penduduk lokal yang berjualan berbagai minuman ringan hingga bir dengan harga yang berlipat ganda. Kegiatan berjualan di tempat ini sesungguhnya sudah dilarang namun tetap saja ada yang bersikeras melakukannya. 

Setelah membangun tenda, saatnya kami pun menikmati keindahan senja yang begitu menawan dan kami pun mengabadikannya dari berbagai sudut dengan jepretan kamera.



Akhirnya aku bisa meraihmu mentari


Sang mentari mau pergi (hei....tunggu)


Segara Anakan dari Plawangan

Istana Awan 


Menanti kemunculan first star


Menjelang pukul dua subuh, kami pun memulai pendakian menuju puncak. Segala barang berharga kami bawa dan tenda pun ditutup rapat. Hal ini disebabkan karena banyak sekali tersiur kabar bahwa akhir-akhir ini banyak pendaki yang kehilangan barang-barang berharga yang mereka tinggal di tenda. Selain itu, monyet-monyet di sekitar tempat ini pun kurang bersahabat dan sering membongkar tenda untuk mengais makanan.


Saya sangat menikmati perjalanan menuju puncak yang jalurnya penuh dengan pasir dan bebatuan. Di sepanjang jalan, saya bernyanyi bak anak kecil yang kegirangan meskipun nafas terkadang tidak beraturan karena harus terus menanjak. Sejauh mata memandang, ternyata di balik tebing masih ada tebing lagi yang perlu terus didaki. Meskipun menjadi tim terakhir yang menggapai puncak di tengah kepungan kabut yang akhirnya menghujani perjalanan kami, kami tetap bersemangat dan tidak terbersit untuk menyerah di saat puncak telah berada di ujung mata. Bahkan, beberapa pendaki yang memutuskan untuk turun setelah menyerah menunggu kabut sirna,  mencoba ikut memberi semangat untuk kami terus melaju. 

Sekitar pukul setengah sembilan, tibalah saya di puncak dan suasana di puncak saat itu cukup gelap ditutup kabut dengan disertai desiran angin yang terus berlomba berlari dan mencoba meniup segala hal yang ia lalui. Walaupun kabut menyelimuti puncak dan menutupi pendangan, saya tetap mensyukurinya sebagai salah satu pengalaman yang indah. Sebelum mengabadikan pengalaman tersebut, saya menikmati terlebih dahulu hidangan mie goreng dan minuman hangat yang telah dibawa dari bawah. Lalu setelah itu barulah mengabadikan pengalaman indah tersebut.

Paling enak makan mie saat di puncak

Perpaduan warnanya sempurna



Hei Kerajaan Langit
  

Awannya menyelimuti danau

Hei ini Kak Raju
                        

Ini pinky boy...so cute
                         

Hi...this is me
                                     

Hore....
Menjelang siang hari, kami akhirnya tiba kembali di Plawangan setelah terjerumus beberapa kali ke dalam kubangan pasir yang menghiasi perjalanan turun kami dari puncak. Sempat juga terlihat beberapa pendaki yang sebelumnya sempat terlihat di puncak, tersesat mencari jalan pulang sebab mereka mengikuti jalur air. 

Sesampainya di tenda, terdengar kabar bahwa ada salah satu tenda pendaki yang digeledah pencuri dan ada juga tenda dari salah seorang teman kami yang dirobek oleh monyet karena kemungkinan monyet tersebut mencium aroma makanan dari dalam tenda. Ketika saya beristirahat siang di dalam tenda, monyet-monyet tersebut pun sempat menghampiri tenda dan mencoba mengambil segala sesuatu yang berhasil mereka jangkau, termasuk sepatu saya. Jadi, suasananya sedikit mencekam saat itu (bukan karena makhluk gaib tetapi karena pencuri dan monyet-monyet kelaparan).

Setelah cukup beristirahat, kami pun memutuskan untuk melewati malam di Segara Anakan. Oleh karena kami memulai perjalanan agak sore maka kemungkinan kami baru tiba di Segara Anakan saat hari sudah malam. 

Di tengah perjalanan malam, kami sempat mengalami kebingungan mencari jalur yang benar. Jalur yang seharusnya kami lalui tersamarkan oleh jalur lama yang kini sudah ditutup. Setelah menyadari hal tersebut, kami pun mencari jalur yang seharusnya dan kami pun perlu menaiki tebing yang cukup tinggi. 

Setelah cukup jauh berjalan di jalur-jalur yang terjal serta melewati banyak anak tangga, akhirnya kami tiba dengan selamat di Segara Anakan. Setibanya kami di tempat tersebut, suasananya seperti pasar karena banyak sekali pendaki yang mendirikan tenda di tempat tersebut dan mereka terkadang berbincang-bincang dengan suara yang keras sambil memperdengarkan musik. Sebenarnya saya sendiri kurang suka ya mendengarkan dawaian musik dari alat elektronik mereka karena membuat suasana yang seharusnya dipenuhi suara-suara alam yang damai, berubah menjadi bising. 

Setelah menelusuri berbagai pelosok, barulah kami menentukan tempat yang nyaman mendirikan tenda. Di tengah kegelapan malam teramati banyak sekali pendaki-pendaki yang mengadu keberuntungan mereka dengan memancing ikan di danau yang konon katanya dihuni oleh banyak ikan, yang pada awalnya dilepas oleh Presiden Soeharto dan Ibu Tien dari sebuah helikopter. 

Malam itu, kami tertidur dengan sangat lelap setelah didera kelelaham melewati perjalanan panjang. Di tengah malam, ternyata sesuatu yang tak terduga terjadi. Di saat semua pendaki sedang tertidur pulas, ada seseorang yang mendekati tenda kami dan sepertinya ia berniat mengambil segala sesuatu yang tergeletak di teras tenda. Aksinya tersebut akhirnya gagal karena tanpa sengaja hp yang ia bawa berbunyi. Ia pun kemudian lari terbirit-birit karena menyadari kami terbangun.

Oleh karena itu, bagi para pendaki diharapkan sangat berhati-hati selama melakukan pendakian gunung ini. Selain banyaknya sampah bertebaran di gunung ini, peristiwa-peristiwa buruk yang disebabkan ulah manusia yang tidak bertanggung jawab  membuat citra gunung yang indah ini semakin tercemar. Sungguh disayangkan!

Lokasi tenda kami di Segara Anakan

Di keesokan paginya, keindahan Segara Anakan tak bisa terelakkan oleh mata. Airnya yang berkilau serta dilindungi oleh deretan pegunungan dan langit biru yang memukau, semakin manambah kekaguman saya terhadap tempat ini. Sebelum menikmati keindahan danau secara lebih mendalam, kami pun mengunjungi terlebih dahulu sumber air panas yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Dari kejauhan terpampang keindahan lekukan bukit tempat air panas tersebut mengalir. 

Lekukan hot spring


Saat saya mendekati sumber air panas tersebut, saya harus super waspada melihat jejak-jejak kaki yang saya dilewati karena setelah diteliti ternyata banyak sekali ranjau yang bertebaran. Sejenak saya merasa geram melihat pemandangan tersebut dan tidak habis pikir kenapa ada orang-orang yang bisa setega itu mengotori tempat yang seharusnya dirawat. Untungnya saya tidak terlalu lama memendam rasa geram tersebut dan memilih untuk merelaksasikan tubuh dalam buaian air hangat. Ujung-ujung jari kaki saya yang terasa perih oleh hujaman jalur yang berpasir dan berbatu, tiba-tiba seakan-akan lenyap oleh khasiat sang air. 


Merelaksasi diri

Ternyata saya tidak bisa berlama-lama memanjakan diri dalam buaian air hangat karena jika terlalu lama maka akan bisa membuat kepala saya pusing. Oleh karenanya, saya pun beranjak dari tempat tersebut dan menuju ke sumber mata air terdekat karena saya merasa sangat haus. 

Anginnya sejuk sekali
                               
Sumber mata air yang telah dicemari sampah

Kondisi sumber mata air di tempat tersebut tidak jauh berbeda dengan sumber mata air yang sebelumnya saya lalui. Namun, rasa air di tempat ini sangatlah segar.
   

Spot yang asyik buat mancing

Gunung Barujari
Para pendaki yang sibuk memancing
                                        

Tak pernah jemu memandangmu Gunung Baruku


Setibanya kembali ke tenda, kami pun memutuskan memancing ikan untuk tambahan makan malam. Sambil menikmati keindahan Gunung Baru yang dikelilingi oleh danau, saya mencoba juga keberuntungan saya dalam hal memancing. 

Lemparkan pancingnya sejauh mungkin
                           
Dengan peralatan pancing seadanya yang tidak sengaja saya temukan di tepi danau dan dengan menggunakan umpan yang lepet ubi yang saya minta dari pendaki lain, saya akhirnya berhasil memancing beberapa ikan kecil (ikan sniper).  Karena airnya sangat jernih jadi saya bisa melihat dengan jelas kapan sang ikan memakan umpan yang saya tawarkan dan di saat itu barulah saya menarik pancingnya. Wah, rasanya bahagia sekali ketika berhasil melakukannya.

Strike...yippyyy
                          

Di dekat tenda kami, kami mencium aroma ikan bakar. Langsung saja saya mendatangi tempat tersebut dan ternyata sang bapak yang sedang memanggang dengan baik hati menawarkan saya beberapa potong ikan bakarnya. Hasil ikan yang saya peroleh pun digoreng dan diberi tambahan sambal yang memerihkan mata. 

Sang Bapak yang baik hati

Awalnya saya enggan memakan ikan-ikan tersebut karena saya kurang suka ikan air tawar sebab berbau lumpur. Namun, akhirnya saya mencoba sedikit ikan-ikan yang telah digoreng dan dibakar. Walah...ternyata rasanya sangat dahsyat. Saya mendeklarasikan ikan-ikan dari Segara Anakan ini sebagai ikan air tawar terlezat sejagat raya.

Setelah melewati 2 malam di Segara Anakan, kami pun dengan berat hati meninggalkan semua kenangan di tempat tersebut dan memulai perjalanan turun gunung melalui jalur Senaru. Kami harus memulai perjalanan ini di pagi hari agar tidak sampai terlalu malam di gerbang Senaru, mengingat perjalanan kali ini sangatlah panjang. Perjalanan ini menanjak dan menurun, di beberapa jalur dilengkapi tiang-tiang yang digunakan sebagai pegangan saat melewati tanjakan anak tangga ataupun tebing. 

Sebelum pulang


Perlu berhati-hati melalui jalur ini karena beberapa penyangga besi anak tangga tersebut sudah mulai rapuh dan baut-bautnya tidak terkait dengan sempurna. Ketika menuruni Plawangan menuju pos 3, jalurnya menurun dan berdebu sehingga sangat licin untuk dilalui. 

Pegangan tangga yang rapuh
                           
Jalur berbatu
                       

Jalur turun yang berdebu dan licin


Para peri bunga
Tiba-tiba berkabut

Ketika menuju pos 2, suasananya terasa berbeda dan di sekitar terasa semakin gelap meski hari belum beranjak terlalu sore. Hutan-hutan tropisnya yang rapat membuat sinar matahari pun enggan merayap masuk.


Vegetasi hutan yang semakin rapat
                                     

Pos yang kelam

Konon, para pemandu ataupun porter enggan melewati ataupun mendirikan tenda di pos 2 ini karena terkenal angker meskipun di pos 2 ini terdapat sumber air yang bisa digunakan untuk mengisi pundi-pundi air pendaki. 

Kami pun tidak ingin berlama-lama beristirahat di pos 2 karena hari semakin sore dan suara-suara binatang hutan pun mulai terdengar menyambut malam. Kami pun lalu melaju menuju pos 1. Sebelum menggapai pos 1, kami melewati pos bayangan. Di sini kami menemui beberapa porter, pemandu, dan pendaki yang memulai pendakian dari jalur Senaru. Sekitar pukul setengah tujuh sore, kami akhirnya tiba di pintu gerbang Senaru dan beristirahat di warung sambil menunggu teman-teman kami yang lain.
    


Pintu gerbang Senaru

Warung di pintu gerbang Senaru


Quote :

It is not the mountain we conquer but ourselves.