Minggu, 03 November 2013

Menjelajahi Sejarah 3 Pulau (Kelor, Onrust,Cipir)


Yang merasa menjadi bagian dari Indonesia sudah pasti pernah mendengar sebuah tempat yang bernama Kepulauan Seribu. Setelah sebelumnya mengunjungi Pulau Tidung, kali ini aku mengajak beberapa teman kerja untuk menjelajahi 3 pulau yang memiliki nilai sejarah yang cukup mendalam, yang sayang sekali jika kita tidak pernah mengetahuinya.

Oke kita mulai saja. Berhubung kami tinggal di Bandung sedangkan Kepulauan Seribu terletak di Jakarta, berarti kami harus menyiapkan perjalanan kami cukup matang agar semuanya berjalan lancar. Pertama-tama aku harus mencari relasi atau teman di facebook yang sering membuat paket wisata murah meriah. Setelah mencari-cari teman yang cocok maka terpilihlah sebuah komunitas jalan-jalan yang bernama Kili-Kili Adventure yang dipelopori seseorang yang sangat ingin memajukan wisata Indonesia yang bernama Mas Bima (tetapi aku sering menyebutnya sebagai mas kili-kili karena gampang diingat hahaha...). Harga paket wisata yang ditawarkannya cukup murah yaitu seratus ribu rupiah dan itu sudah termasuk makan siang dengan awal perjalanan dimulai dari Muara Kamal Jakarta Utara. Setelah dirasa cocok, kami (aku, Rani, Wienny, Sarita, Ikbal) membooking tempat sebulan sebelum hari keberangkatan.Untuk memilih hari keberangkatan, kami pun harus memikirkannya matang-matang mengingat perjalanan kami melalui laut sehingga otomatis kami harus mencari tahu kapan air laut surut dan kapan air laut pasang. Untuk urusan ini Wienny agak cerewet mengingatkan karena ia tidak mau mengambil perjalanan yang terlalu beresiko. Apalagi setelah mendengar cerita dari salah sorang teman yang kemarin sempat terombang-ambing di tengah laut dalam waktu yang cukup lama sewaktu ke Pulau Tidung gara-gara mesin kapalnya rusak dan kebetulan saat itu arus laut sedang tidak bersahabat sehingga suasanyanya sangat menegangkan. Sebagai perencana perjalanan, aku pun harus bisa meyakinkan Wienny kalau kami akan berangkat pada hari yang tepat yaitu di bulan mati (bukan bulan purnama) dimana arus laut akan cukup tenang. Aku pun terus berkontak dengan Mas Kili-Kili menanyakan berbagai persiapan yang perlu dilakukan agar perjalanan kami bisa menyenangkan.

Setelah booking tempat dengan membayar DP 50%, tugas selanjutnya adalah mencari penginapan yang sesuai ukuran kantong. Setelah browsing di internet dan meminta tolong salah seorang teman di Jakarta yang bernama Ciko, akhirnya kami menemukan sebuah penginapan yang cocok di dekat bandara Soekarno Hatta yang bernama Huswah Transit Hotel dengan rate per malamnya dua ratus ribu rupiah yang didalamnya sudah termasuk 2 tempat tidur, toilet, AC, dan sarapan pagi. Kebetulan hotel tersebut tidak bisa dibooking dengan melakukan pembayaran di muka jadi kami pun harus meyakinkan pihak hotel untuk tidak memberikan tempat yang kami pesan kepada tamu lain pada hari h. Usaha ini akhirnya cukup berhasil dan pihak hotel pun meminta kami untuk melakuakn pembayaran langsung di hari h.

Setelah urusan penginapan beres, waktunya kami mencari moda transportasi yang tepat. Terpilihlah moda transportasi kereta api bisnis Argo Parahyangan sebagai kendaraan yang akan kami gunakan untuk menuju ke Jakarta. Kenapa kereta api? Hal ini karena kereta api saat ini menjadi salah satu moda transportasi di Indonesia yang cukup nyaman digunakan yang bebas macet walaupun waktu tempuh cukup lama. Kami berencana menggunakan kereta api saat keberangkatan sedangkan saat kepulangan kami memilih menggunakan bus Primajasa dari Kalideres dengan pertimbangan bahwa jarak Muara Kamal ke terminal Kalideres cukup dekat. Setelah tiket kereta api di tangan, kami pun merasa lega. Harga tiket kereta api tersebut seharusnya enam puluh lima ribu rupiah, namun karena kami tidak langsung membelinya di stasiun maka harganya sedikit lebih mahal namun harganya sebanding apabila kita harus mengantri lama membeli tiket langsung di stasiunnya.   

Di tiga hari sebelum keberangkatan, kami melunasi sisa pembayaran trip. Menjelang hari keberangkatan, Sarita ternyata berhalangan ikut sehingga ia digantikan posisinya oleh Ciko. Sambil menunggu waktu keberangkatan, kami pun mencoba menjaga kesehatan dengan baik sambil  mencari informasi penting di internet tentang hal-hal apa saja yang kemungkinan kami bisa temukan di tiga pulau yang ingin kami kunjungi.

Akhirnya hari yang kami nanti pun tiba. Sehari sebelum acara, kami berangkat pagi-pagi sekali pukul 7.00 dari Stasiun Bandung menuju ke Stasiun Gambir Jakarta. 

Semangat pagi menunggu kereta
Setelah hampir 3 jam perjalanan,  pukul 10.00 siang kami pun tiba dan dijemput oleh Ciko yang kebetulan membawa mobil. Kami pun langsung mencari tempat untuk makan siang. Sepanjang penjalanan kami merasa sangat kepanasan karena AC mobil rusak. Kesembrautan lalu lintas ibu kota Jakarta juga membuat suasana semakin panas namun semua dinikmati dengan penuh antusiasme. Mie Gajah Mada berhasil terpilih menjadi menu makan siang kami.

Di Bakmi Gajah Mada
Seusai makan siang, kami pun menyempatkan diri mengunjungi kota tua yang salah satunya museum wayang. 

Museum Wayang

Kota tua dan keunikannya

Ketika hari menjelang malam, barulah kami menuju tempat penginapan kami. Walau pun sempat sedikit nyasar, kami pun akhirnya berhasil menemukan penginapan Huswah yang menjadi tempat kami mengumpulkan energi untuk esok pagi.

Suasana penginapan setelah kami obrak-abrik
Keesokan paginya, pukul 6 pagi kami mulai bersiap dan memesan ojek untuk mengantarkan kami ke pelabuhan muara kamal. Dengan merogoh receh tiga puluh ribu rupiah, aku dan Rani menaiki satu ojek bersama agar lebih murah (contoh yang tidak baik : P).

Kantor RW 01 menjadi tempat tim Kili-Kili Adventure berkumpul. Suasana pelabuhan pagi itu sudah sangat ramai. Semua nelayan dan pedagang menjajakan berbagai jenis yang ikan segar yang sangat menggiurkan jika membayangkan ikan-ikan tersebut dimasak (mmm...yummy). Sesampainya di Muara Kamal, kami pun berkenalan dengan teman-teman baru yang salah satunya adalah Mas Kili-Kili yang namanya sering kami sebut. 

Titik awal keberangkatan
Pukul 08.00, kami pun naiki ke perahu yang jumlahnya sekitar 5-6 buah. Pada saat naik perahu, Ciko ternyata tampak grogi menapaki perahu tersebut sehingga aku harus membantu menemani si Ciko.

Minggu pagi di hari keberangkatan kami, cuaca kebetulan cerah dan arus laut pun tampak tenang. Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Pulau Kelor. Jarak tempuh dari Muara Kamal ke Pulau Kelor sekitar 30 menit. 
Perjalanan ke pulau menggunakan kapal nelayan
Perjalanan tiga puluh menit tersebut seakan tidak terasa karena kami terbuai oleh sentuhan angin laut yang menyegarkan walau matahari bersinar cukup terik namun menghangatkan bagi pagi kami. Mendekati Pulau Kelor, kami sudah bisa melihat dari kejauhan peninggalan masa lampau saat jaman Belanda berkuasa. Kami pun tidak sabar mendaratkan kaki dan melihat kegagahan salah satu peninggalan di pulau tersebut yang sangat terkenal yaitu Benteng Mertello.

Benteng Mertello dari kejauhan
Berdasarkan data dari Wikipedia, Pulau Kelor dulunya lebih dikenal dengan julukan Pulau Kherkof. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Pulau Kelor karena ukurannya yang sangat mungil seperti daun kelor. Luasnya terus menyusut akibat abrasi dan kenaikan permukaan air laut. Menurut para ahli kelautan, kemungkinan Pulau Kelor bisa tenggelam kalau pengaruh buruk lingkungan tidak diredam.

Benteng Martello yang merupakan salah satu peninggalan Belanda yang dibangun sebagai pertahanan VOC untuk menghadapi serangan Portugis di abad 17. Oya benteng ini terbuat dari batu bata merah yang dibuat melingkar. Konon di sini juga terdapat kuburan Kapal Tujuh atau Sevent Provincien serta awak kapal berbangsa Indonesia yang memberontak dan akhirnya gugur di tangan Belanda. Saat kami menapaki kaki langsung di Pulau Kelor ini, kami bisa merasakan suasana jaman dulu kala ketika pulau ini berjaya dan diagungkan. 

Hore akhirnya tiba di Pulau Kelor
Saat mendaratkan kaki, hamparan pasir berwarna putih pun langsung manyambut kami. Namun sayang, ketika melihat lebih dekat Benteng Martelo, benteng tersebut terlihat kurang terawat dengan baik, ada beberapa bagian yang telah menjadi puing-puing dan bersatu dengan tanah. 

Benteng Martello tampak dari dalam
Berfoto di salah satu puing

Bersama Mas Kili-Kili (Bima)
Benteng Martello di Pulau Kelor sempat mengalami kerusakan parah akibat terjangan tsunami dari letusan Krakatau pada tahun 1883. Pengikisan karena gelombang laut juga membuat bagian luar benteng terendam air. Untuk mengurangi dampak pengikisan, kini dipasang pilar-pilar pemecah gelombang.

Pilar-pilar pemecah gelombang
Setelah mendengar sejarah tentang pulau ini dari Mas Kili-Kili, kami pun berkeliling pulau dan berfoto. Tidak selang beberapa lama, teman kami Ikbal memanggil kami untuk mencicipi kepiting rebus. Awalnya kami bingung dengan maksudnya, bagaimana mungkin dia bisa memasak kepiting dengan sepecat kilat padahal kami baru saja mendarat. Ternyata setelah ditelusuri, ada 2 orang teman naik gunungnya Ikbal yang secara kebetulan bermalam di pulau dengan membangun tenda dan memasak kepiting hasil tangkapan mereka semalam. 

Kepiting terlezat dan tersegar yang pernah dicoba

Para tuan rumah pemilik masakan kepiting terlezat
Tiga orang ini lagi apa yah???
Setelah mencium aroma kepiting yang sangat menggiurkan, kami pun langsung dipersilakan melahap kepiting rebus yang sangat segar dan lezat tersebut, yang diracik dengan bumbu seadanya. Usut punya usut, ternyata kedua teman Ikbal tersebut telah sempat bermalam juga di Pulau Onrust. Awalnya mereka sempat takut bermalam di pulau-pulau yang menurut cerita masyarakat sekitar angker dan sering muncul penampakan. Namun, ketakutan mereka hilang saat melihat di malam hari ada banyak pemancing yang datang ke pulau tersebut. 

Setelah mencicipi kepiting dan keagungan Benteng Martello, aku pun menjalankan wasiat dari salah seorang teman (Kak Eet) yaitu menyebarkan beberapa biji pohon seperti kelengkang dengan harapan biji tersebut bisa tumbuh dan ketika besar bisa menjadi makanan bagi para binatang yang menjadi menghuni pulau seperti burung-burung.

Pepohonan di Pulau Kelor

Foto Keluarga Kili-Kili Adventure di Pulau Kelor
Salah satu hero di Pulau Kelor
Dari Pulau Kelor, kami melaju ke Pulau Onrust. Jarak tempuhnya dari Pulau Kelor tidak terlalu lama yaitu sekitar 15 menit. Ketika berlabuh di Pulau Onrust, kami menemukan banyak bulu babi yang menempel di kayu-kayu. Namun herannya ada orang-orang yang masih berani berenang diantara kumpulan bulu-bulu babi tersebut (hebat atau nekad yah?). 

Pulau Onrust
Bulu-bulu babi
Dari awal pintu masuk Pulau Onrust ini, sudah tersebar aura yang sedikit mistis. Mas Kili-Kili pun meminta kami untuk tidak saling berjauhan (tetap bersama tim) karena pulau ini lebih luas dibandingkan Pulau Kelor. Nama pulau Onrust sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti 'Tidak Pernah Beristirahat' atau dalam bahasa Inggrisnya adalah 'Unrest'. Rakyat sekitar juga sering menyebut pulau ini sebagai Pulau Kapal dahulu sering sekali dikunjungi kapal-kapal Belanda sebelum menuju Batavia. 

Peninggalan meriam Belanda

Barang-barang keramik


Batu hasil puing-puing bangunan

Rumah museum di Pulau Onrust
Di dalam pulau ini, kita banyak menemukan juga peninggalan Belanda dan ada juga sebuah rumah yang masih utuh yang kini dijadikan sebagai museum tempat menyimpan benda-benda peninggalan arkeologi  masa kolonial Belanda. Ketika menjelajahi lebih dalam, di pulau ini juga terdapat banyak makam yang nisannya ditulis dalam bahasa Belanda dan ada juga makan yang dianggap keramat.

Kuburan orang-orang Belanda


Kuburan keramat
Dulunya Pulau Onrust adalah merupakan pelabuhan VOC sebelum pelabuhan dipindahkan ke Tanjung Priok Jakarta Utara. Pulau ini juga pernah menjadi markas tentara Belanda sekaligus tempat bongkar muat logistik perang. Di tahun 1930-an, Pulau Onrust pernah juga dinobatkan menjadi asrama haji sebelum diberangkatkan ke Arab Saudi. Para calon haji di Pulau Onrust diadaptasikan dengan udara laut karena zaman dahulu mereka naik kapal laut sebelum menuju ke Arab Saudi. Di pulau ini masih terlihat bangunan-bangunan peninggalan penjajah Belanda seperti benteng dan pelabuhan kuno. 

Bangunan bekas asrama haji
Selama berjalan-jalan di Pulau Onrust, banyak terdapat pohon-pohon besar yang umurnya mungkin sudah puluhan tahun yang cukup rindang untuk meneduhi perjalanan kami. Pulau ini juga dihuni oleh beberapa penduduk sekitar dan kita juga dapat menemukan warung-warung yang menjajakan makanan walau dengan harga yang lebih mahal dari pada biasanya. Di pulau inilah kami istirahat makan siang sebelum menuju ke pulau terakhir yatu Pulau Cipir.

Salah satu pohon besar
Manu makan siang

Menu makan  siang kami sederhana yaitu nasi kotak. Aku pun melahap makan siangku di pinggir pantai sambil melihat para pemancing yang sedang memasang umpan. Jika beruntung, dari pinggir laut ini kita bisa menyaksikan atraksi ikan terbang yang sedang melompat. Setelah makan siang, aku sempat rebahan di lantai dekat pohon rindang dan akhirnya tertidur terbuai angin laut dan suara burung-burung yang berkicau di atas pepohonan.


Lima penjelajah
Menjelang pukul 13.00, kami mengucapkan salam perpisahan kepada Pulau Onrust yang begitu memukau dengan sejarahnya untuk bisa melanjutkan ke pulau berikutnya yaitu Pulau Cipir. Waktu yang kami butuhkan untuk mencapai Pulau Cipir tidak sampai 10 menit. 

Selamat datang di Pulau Cipir
Pulau Cipir atau yang sering disebut sebagai pulau kahyangan memiliki juga peninggalan arkeolog seperti halnya yang kita temui di Paulau Onrust. Bahkan dari pulau ini kita bisa melihat jejak-jejak hasil terjangan tsunami dimana Pulau Cipir ini sebenarnya dahulu terhubung dengan Pulau Onrust yang kini menjadi tetangganya. 

Bermain dengan kerang-kerang yang cantik
 Di sini kami duduk bersantai di pinggir pantai yang dipenuhi kerang-kerang dan batu-batu pantai yang indah. Ada juga papan himbuan dia pintu gerbang sebelum memasuki pulau ini yang menghimbau agar para pengunjung pulau untuk tidak mengambil pasir di pulau ini agar pulau tidak tenggelam ditelan ombak.Di seberang pulau ini juga kita bisa melihat Pulau Bidadari. Kami menemukan salah satu bidadarinya.

Sang bidadari
Di akhir perjananan kami menjelajahi 3 pulau, kami berkesempatan untuk saling berkenalan lebih lengkap sambil bercerita kesan-kesan kami selama perjalanan bersama Kili-Kili Adventure yang pastinya seru.

Kili-Kili Adventure (Berangkat Gak Kenal Pulang Jadi Saudara)
Lalu perjalanan kembali pulang ke Muara Kamal dilakukan pukul 16.00. Untuk mengunjungi pulau-pulau di Kepulauan Seribu, para pengunjung sangat diharapkan untuk sudah kembali ke pelabuhan asal sebelum malam mengingat ketika malam arus laut mungkin cukup besar sehingga tidak aman melakukan perjalanan laut di malam hari.

Perjalanan pulang

Ada seseorang yang pergerakannya sangat hati-hati
Setelah 20 menit perjalanan pulang, kami pun tiba di Pelabuhan Muara Kamal dan waktunya kami berpisah dengan tim-tim lain yang berasal dari Jakarta. Kemudian langsung saja kami dari Muara Kamal menyewa ojek agar bisa cepat sampai di Terminal Kalideres. Pukul 18.00, dari Kalideres kami naik bus Primajasa ke Bandung dengan ongkos enam puluh ribu rupiah. Bus kami pun sampai dengan selamat di Terminal Leuwi Panjang Bandung pada pukul 21.00.

Dari one day trip ini, aku banyak belajar tentang bagaimana kita menghargai lingkungan dan menghormati peninggalan masa lampau bangsa yang sangat berharga.    

Perjalanan Tak Terduga ke Rajamandala

  

Dengan berkeyakinan bahwa setiap tempat adalah sekolah, aku pun ikut dalam rencana perjalanan yang dirancang oleh Boby dan Wienny. Awalnya, Wienny mengundang semua kakak-kakak Smipa untuk ikut serta. Namun pada hari h, yang ternyata bisa ikut adalah aku, Boby, Wienny, Rani, Pak Iwan, dan Pak Muklis. 

Tujuan perjalanan ini menurut Boby adalah berkunjung ke kampung halaman Pak Muklis. Setelah mendengar samar-samar kalau kampung halaman Pak Mulkis terletak di Padalarang, maka aku pun memberanikan diri mengendarai sepeda motor dengan berpasangan bersama Rani. Ini adalah pengalaman pertamaku mengendarai sepeda motor ke luar kota Bandung dengan jarak cukup jauh. 

Perjalanan pun dimulai dari Smipa sekitar pukul 07.00 di Sabtu pagi yang sedikit rintik-rintik. Pada waktu itu, Boby dibonceng Pak Iwan, Wienny dibonceng oleh Pak Muklis, dan aku dengan Rani pun menjadi pasangan yang tak terpisahan.

Selang beberapa lama, aku dan Rani menyadari bahwa kami menempuh jarak yang lebih jauh dari tujuan awal yang kami kira (Padalarang). Dengan kecepatan hanya 40km/jam, kami yang buta arah pun mengikuti jejak motor Pak Iwan. Setelah setengah jam perjalanan, kami melewati jalan yang biasa dilalui oleh mobil-mobil besar sehingga kami perlu bekerja sama agar bisa melewati jalan tersebut dengan selamat. Sebenarnya ada sedikit ketegangan melanda hatiku ketika melalui jalan tersebut, tapi aku mencoba fokus pada perjalanan dan tetap memelihara pikiran positif. Agar tidak kehilangan jejak motor Pak Iwan, aku meminta tolong kepada Rani mengintai setiap pergerakam motor Pak Iwan sehingga aku fokus berkendara sambil mendengarkan arahan Rani. 

Setelah sejam berlalu, tiba-tiba terjadi insiden ban motor Pak Iwan kempes. Tapi untunglah, di dekat lokasi insiden ada tempat tambal ban dan secara kebetulan ada juga warung bubur. Walaupun terjadi insiden dalam perjalanan, kami menikmati segala hal yang terjadi seperti nasehat yang selalu dikumandangkan oleh Boby. 

Sambil menunggu ban motor Pak Iwan kembali sehat, kami pun menikmati bubur ayam sebagai sarapan pagi yang menghangatkan. Di tempat inilah aku dan Rani kaget sekaligus bangga karena kami ternyata sudah sampai di Cipatat dengan sukses walaupun merasa sedikit ditipu hehehe. Jika dikenang kembali, aku sering berpikir kok kami (aku dan Rani) bisa sepemberani ini. Anggota tim yang lain pun memberi sorakan atas usaha besar yang kami telah capai.

Setelah makan bubur ayam, motor Pak Iwan pun mulai pulih kembali. Tanpa disangka juga, kampung halaman Pak Muklis ternyata sudah di depan mata. Kami hanya perlu menyebrangi jalan besar dari tempat kami makan bubur.

Perjalanan yang lebih seru pun dimulai. Bertepatan dengan dimulainya tema bertema desa di Smipa, kami merasa sangat beruntung karena bisa menjadi Kakak-Kakak yang membuka tema di desa kampung halaman Pak Muklis. Mendekati kampung halaman Pak Muklis, banyak sawah dan pemandangan indah yang mulai bermunculan. Rani, Wienny, dan Boby pun turun dari motor agar aku, Pak Iwan, dan Pak Muklis bisa berkonsentrasi melewati jalan pedesaan dan pematang sawah yang sempit.

Akhirnya setelah satu jam lebih menempuh perjalanan dari Bandung, tibalah kami di rumah bibi Pak Muklis. Kami pun disambut dengan ramah oleh bibinya Pak Muklis dan sempat bersalaman juga dengan para tetangga.Setelah beristirahat sejenak, kami pun kemudian tidak sabar untuk menjelajahi setiap pelosok desa, menikmati harum tanah yang gembur, dan belaian angin persawahan yang sejuk.

Mari kita mulai berpetualang
Lalu langsung saja kami menjejakan kaki di pematang sawah. Boby pun membuka alas kakinya dan kemudian diikuti oleh tim yang lain. Foto-foto narsis pun tidak dapat dihindarkan mumpung menemukan dengan pemandangan sawah yang elok. Tak jauh dari rumah bibinya Pak Muklis ini, terdapat sumber air yang masih digunakan oleh warga untuk minum sehari-hari. Setelah diteliti oleh Pak Iwan, ternyata banyak terdapat udang-udang kecil air tawar di tempat tersebut.

Mata air di dekat sawah
Di awal perjalanan kami, mulailah tumbuh mimpi-mimpi dari anggota tim untuk membeli sepetak tanah di tempat tersebut sebagai tempat tinggal menghabiskan hidup dengan kedamaian alam.

Sawah hijau membentang
Setelah melewati pematang sawah, kami pun melewati sebuah rel kereta api. Awalnya aku mengira bahwa rel tersebut sudah tidak digunakan lagi tetapi menurut informasi dari Pak Muklis, sampai saat ini rel tersebut masih dilalui oleh kereta api dengan intensitas 2 kali hari (pagi dan siang). Rel kereta api tersebut sebenarnya melewati jembatan Rajamandala yang terletak di atas sungai Citarum. Kereta api yang melintasi rel tersebut biasanya mengangkut penumpang dari arah Cianjur menuju stasion Ciroyom Bandung.Saat kami melintas, keadaan sekitar rel kereta api masih kosong sehingga kami manfaatkan dengan baik untuk berfoto ria.

Yuhu....berfoto ria di bawah langit biru
Setelah puas berfoto, kami pun melalui ladang yang banyak ditumbuhi oleh pohon coklat dan ada juga terong Belanda. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan seekor kucing yang sedang duduk sambil mengeong di bawah pohon coklat. Boby pun langsung mengeluarkan bekalnya yang terdiri atas kue-kue tradisional kesukaannya dan kemudian berbagi bekal dengan kucing tersebut.

Nyam...nyam kata si kucing
Seusai beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah jembatan kayu yang panjang yang. Di bawahnya terdapat sebuah sungai yang aliran airnya cukup deras. Aku pun memberikan kesempatan kepada Pak Muklis, Rani, dan Wienny untuk melaluinya terlebih dahulu agar aku memiliki kesempatan mengumpulkan keberanian untuk melaluinya (jauh dalam lubuk hatiku sebenarnya aku takut dengan ketinggian hehehe...).
Back light bridge
Akhirnya semua tim pun bisa melewati jembatan tersebut dengan selamat. Lalu sebagai hadiah, kami pun menikmati kesegaran air sungai.

Airnya menyejukkan walau keruh bercampur lumpur
Di balik bebatuan sungai yang rata-rata ukurannya cukup besar, aku pun menemukan banyak telur-telur keong emas yang sedang berjuang untuk hidup dan menunggu waktu menetas menjadi anak-anak keong yang lucu.

Telur keong
 Karena hari sudah semakin siang dan cukup terik, kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah salah satu sanak saudara Pak Muklis sambil berniat mencari air kelapa segar untuk menghilangkan dahaga. Sesampai di rumah saudara Pak Muklis yang menjadi tujuan kami, kami pun menemukan sebuah tempat penggilingan padi. Setelah sekian lama, baru akhirnya menemukan peralatan penggiling padi yang dulu sewaktu kecil sering aku lihat di kampung halaman di Bali. Ternyata, air kelapa segar yang kami idam-idamkan ternyata tidak ada. Lalu diganti dengan air dingin dari kulkas yang disuguhkan oleh saudara Pak Muklis. Selain air dingin mereka juga menyuguhkan kami makanan ringan pengganjal perut (wah mereka baik sekali  jadi terharu). 


Setelah puas berkeliling, kami memutuskan pulang kembali ke rumah bibinya Pak Muklis sebelum hari menjelang sore. Dalam perjalanan pulang, kami melewati kebun milik saudara Pak Muklis dan sempat kami mengikuti les kilat membuat ketupat di kebun tersebut dengan Pak Iwan dan Pak Muklis sebagai gurunya (mmm...ga ada kerjaan yah...hehehe). 

Les kilat membuat ketupat
Dalam perjalanan pulang, kami memilih penjalanan pulang yang sedikit mendebarkan yaitu menyebrangi sungai. Kami mencoba berhati-hati dan saling bahu-membahu melewati sungai tersebut karena licin dan arus yang cukup deras. Basah pun tak dapat dihindarkan. Rani sempat beberapa kali terjatuh dan sedikit cidera. Namun Rani tetap semangat melanjutkan perjalanan.Di ujung perjalanan, kami berfoto keluarga di sebuah saung (seru...sekali).

Mendebarkan melewati sunga yang deras
 
Foto keluarga di saung

Keluarga padi yang siap dipanen

Mencoba menjadi bebegig sawah

Fose Boby mengambil foto

Sesampainya di rumah bibinya Pak Muklis, makan siang yang lezat pun sudah siap tersaji. Dengan lauk ala kadarnya seperti tempe, ikan asin, sambal, dan mentimun, makan siang ini menjadi sangat istimewa karena disuguhkan dengan ketulusan hati dari tuan rumahnya. Boby pun mencoba meminta ijin kepada bibinya Pak Muklis untuk mencoba air segar dari mata air yang sebelumnya sempat kami lihat. Tak berapa lama kemudian, air kelapa segar pun datang. Terima kasih sekali kami ucapkan kepada Pak Muklis dan seluruh saudaranya yang telah mau menerima kami singgah.

Walau perjalanan ini singkat, namun selalu memberi warna baru pada kehidupan. Mengajarkan tentang pentingnya kebersamaan dan keberanian untuk mengatasi rasa takut dengan pikiran positif.