Minggu, 07 April 2013

Menjelajah Pulau Tidung dan Berkemping Ria


Pagi di Pelabuhan Kali Adem
Pulau Tidung adalah salah satu diantara gugus Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu sebenarnya bukan terdiri atas seribu pulau. Itu hanya sebuah istilah yang diberikan kepada kepulauan yang memuliki cukup banyak pulau. Dengan diberi nama Kepulauan Seribu diharapkan orang-orang lebih mudah mengingat kepulauan tersebut. Faktanya, Kepulauan Seribu hanya memiliki sekitar 108 pulau dan itu sudah termasuk beberapa pulau yang kini sudah tenggelam. Tenggelamnya pulau-pulau tersebut salah satunya adalah karena ulah manusia.

Mengapa akibat ulah  manusia?

Berdasarkan info yang diperoleh beberapa situsdan hasil wawancara langsung dengan Pak Pepen yang merupakan salah satu ABK yang menangani arus transportasi di Kepulauan Seribu, mengatakan bahwa tenggelamnya beberapa pulau adalah diakibatkan karena adanya eksploitasi pasir yang berlebihan yang digunakan untuk  proyek  pembangunan Bandara Soekarno-Hatta yang pada akhirnya membuat hilangnya beberapa pulau secara bertahap sejak tahun 1983-1987. Pulau-pulau yang hilang tersebut diantaranya adalah Pulau Umbi Besar, Pulau Dapur, Pulau Umbi Kecil, Pulau Air Kecil, Pulau Air Sedang, Pulau Nyamuk Besar, Pulau Father Smith, dan Pulau Jong. Eksploitasi pasir yang berlebihan secara tidak langsung ternyata membawa dampak pada kerusakan biota kehidupan laut seperti matinya karang-karang di sekitar bibir pantai. Apabila hal ini diabiarkan terus menerus maka pulau-pulau lain sepeti Pulau Kelor, Pulau Nyamuk Kecil, Pulau Dapur Kecil, Pulau Air, Pulau Bidadari, dan Pulau Onrus akan mengikuti jejak-jejak pulau yang telah tenggelam sebelumnya.

Mendengar begitu terkenalnya Kepulauan Seribu, menginspirasiku untuk mengunjungi salah satu pulau yang secara administratif terletak di kawasan Jakarta Utara tersebut. Akhirnya diputuskanlah untuk mengunjungi  Pulau Tidung. Jumlah kunjungan ke Pulau Tidung biasanya meningkat di akhir pekan jadi tidak ada salahnya kalau kita melakukan survey terlebih dahulu berkaitan dengan pelabuhan mana yang akan kita gunakan untuk menyebrang ke pulau tersebut.

Sebenarnya ada 3 pelabuhan yang dapat digunakan yaitu :
1. Kelas Ekonomi : Pelabuhan Muara Angke
2. Kelas Bisnis : Pelabuhan Kali Adem (Muara Angke Baru)
3. Kelas Eksekutif : Pelabuhan Marina Ancol

Harga tiket kapal di setiap pelabuhan sesuai dengan kelas dan pulau tujuan, semakin jauh pulau tujuan semakin mahal juga harga tiket kapal. Misalnya saja untuk kelas ekonomi berkisar Rp. 33.0000, kelas menengah berkisar antara Rp 40.000-Rp 50.000, dan kelas eksekutif berkisar Rp 100.000 ke atas.

Kami memutuskan untuk berangkat melalui pelabuhan Kali Adem karena kami ingin di awal keberangkatan merasakan suasana yang lebih nyaman daripada suasana apabila kami seandainya memilih berangkat melalui Pelabuhan Muara Angke Lama yang biasanya jumlah penumpangnya cukup banyak dan biasanya saling berdesak-desakan terutama saat "peak season". Kami memutuskan untuk berangkat di hari Sabtu pagi namun sebelumnya di hari Jumat malam kami mengsurvey keadaan di Pelabuhan Kali Adem. Ternyata kami mendapatkan saran dari petugas pelabuhan untuk datang besok pagi subuh-subuh karena jumlah penumpang dibatasi sampai dengan 20 orang karena ternyata kapal yang berkapasitas sekitar 60 orang yang biasanya beroperasi mengangkut penumpang mengalami kerusakan mesin sehingga hanya bisa menggunakan 2 kapal kecil yang bertugas mengangkut penumpang ke Pulau Tidung dan Pulau Harapan.

Dikeesokan harinya di hari Sabtu subuh sekitar pukul 04.00 kami sudah tiba di Pelabuhan Kali Adem dan ternyata sudah ada banyak antrian untuk menuju Pulau Harapan dan Pulau Tidung padahal loket penjualan tiket baru dibuka pukul 07.00. Ada sedikit hal unik yang kami lihat yaitu yang antri di depan loket penjualan tiket bukanlah orang melainkan tas-tas. Tas-tas ini ternyata mewakili sejumlah orang yang antri. Pada saat kami datang, jumlah antrian tas menuju Pulau Harapan sudah penuh dan yang masih lowong adalah antrian menuju Pulau Tidung. Kami pun mendapat nomor antrian tas mulai dari  nomor 7. 


Selesai menyimpan tas yang hanya sebagai simbolis antrian, kami lalu mencari sarapan di sekitar pelabuhan. Pilihan jatuh kepada "otak-otak" yaitu makanan yang terbuat dari daging ikan laut yang dibungkus dengan daun pisang dan dimakan dengan menggunkaan bumbu kacang. Suasana pelabuhan sekitar tempat penjualan otak-otak ternyata sudah ramai. Setelah cukup kenyang, barulah kami kembali ke pelabuhan menunggu sampai loket penjualan tiket dibuka.

Menu sarapan di pagi hari sebelum berangkat
Kesempatan untuk menunggu ini tidak aku sia-siakan begitu saja. Aku gunakan untuk melihat kondisi sekitar pelabuhan dan sambil mengambil foto suasana pelabuhan di pagi hari. Dari penelusuran yang aku lakukan ternyata banyak terdapat rumah-rumah nelayan yang kelihatannya sedikit kumuh di sekitar pelabuhan. Ada juga deretan drum-drum plastik yang tidak aku ketahui namanya yang berbaris berjajar dengan rapi membentuk sebuah tempat yang memudahkan kita untuk naik ke kapal yang akan kita gunakan. Suasana Pelabuhan Kali Adem ini tampak sedikit lebih bersih daripada Pelabuhan Muara Angke meskipun bukan berarti tidak ada sampah sama sekali di pelabuhan ini. Ada saja sampah yang melayang-layang di permukaan air atau tertumpuk dan tertanam di tanah sekitar pelabuhan.

Pemandangan pagi 
Sambil mengambil foto, sesekali aku juga melihat antrian tas, takut-takut apabila seandainya ada orang iseng yang mengubah nomor antrian tasku. 

Ketika pagi merayap terbit
Ada beberapa orang yang datang ke pelabuhan ini namun akhirnya pergi lagi karena sudah tidak mendapat nomor antrian padahal pada saat itu baru menunjukkan pukul 05.30. Berdasarkan pengalamku kemarin, aku menyarankan untuk tidak jauh-jauh dari antrian tas pada saat waktu menunjukkan pukul 06.30 karena meskipun biasanya loket tiket di buka secara formal pukul 07.00 tetapi pada saat antrian sudah full, loket ternyata dibuka pukul 06.30. Pada saat itu, ada yang terpaksa melakukan negosiasi lagi untuk mendapatkan jatah tiketnya karena pada saat loket dibuka, ia sedang keluar pelabuhan karena petugas mengatakan kepadanya kalau loket dibuka pukul 07.00. Tetapi untungnya setelah melakukan negosiasi sengit dengan petugas, ia berhasil mendapatkan tiket untuk menuju pulau tujuannya.

Suasana di dalam kapal
Setelah menunggu beberapa saat sesudah membayar tiket Rp 50.000 untuk tujuan Pulau Tidung dan asuransi sebesar Rp 2.000, kami diminta untuk segera menuju kapal. Sebelum masuk ke kapal, petugas kapal memanggil nama kami satu per satu sambil diminta menunjukkan tiket. Kapal yang kami tumpangi adalah kapal kecil yang berkapasitas 20 orang dengan kecepatan sekitar 20 knot atau sekitar 4.600-4.800 rpm. Disarankan untuk tidak membawa barang-barang yang terlalu banyak karena kapasitas angkut kapal ini hanya dihitung untuk 20 orang dan tidak termasuk barang bawaan penumpang. Kapal kami berangkat pukul 07.30 dengan jumlah penumpang saat itu sekitar 14 penumpang dan di dekat nahkoda/kapten terdapat life jacket yang disiapkan sebagai perlengkapan keamanan untuk para penumpang. Aku memilih untuk duduk di deretan kursi paling belakang di dekat pintu masuk agar bisa melihat bagaimana kondisi laut dari belakang kapal.

Pemandangan di luar kapal
Perjalanan menuju Pulau Tidung ini melintasi beberapa pulau. Kapal kami singgah di beberapa pulau seperti Pulau Untung Jawa (pukul 08.00) dan Pulau Lancang. Saat menuju ke Pulau Tidung, kapal kami melawan arus sehingga terasa sekali goncangannya dan suara kapal yang menabrak arus membuat suasana yang cukup menegangkan di awal perjalanan, namun setelah beberapa lama aku menjadi terbiasa. Di pulau Untung Jawa ada tambahan sekitar 4 penumpang yang menuju ke Pulau Lancang termasuk salah satu anak kecil yang ternyata takut untuk duduk di deretan kursi depan karena takut melihat haluan kapal yang membentur arus. Lalu setelah beberapa lama, kami singgah sebentar di Pulau Lancang Besar sekitar pukul 08.20 dan di sekitar pulau ini kami banyak melihat "bagang apung" yaitu rumah kecil dari kayu di tengah laut yang digunakan oleh para nelayan sebagai tempat untuk menangkap ikan.

Apabila seandainya kapal kami tidak singgah di beberapa pulau, perjalanan menuju Pulau Tidung dapat ditempuh sekitar 1 jam. Kapal yang kami tumpangi dilengkapi dengan GPS, radio untuk berkomunikasi, serta lampu. Apabila seandainya cuaca buruk, biasanya kapal tidak akan dioperasikan sampai cuaca di laut membaik kembali. Sebagia informasi saja, bahwa kapal-kapal yang melayani lalu lintas di Kepualauan Seribu biasanya hanya beroperasi di siang hari dan jarang di malam hari keculai pada situasi-situasi tertentu saja. Menurut Pak Pepen, apabila libuan panjang sebaiknya memesan penginapan di jauh-jauh hari karena pernah dulu terjadi ada satu keluarga yang akhirnya terpaksa kembali ke Jakarta karena tidak mendapat penginapan di pulau tujuan mereka. Pada saat kami melakukan perjalanan ke Pulau Tidung kemarin, kami memang memutuskan untuk membangun tenda karena kami yakin penginapan di Pulau Tidung penuh berkaitan dengan libur panjang.

Selama perjalanan kami sempat juga melihat kapal-kapal lain yang berlalu lalang yang salah satunya adalah kapal lumba-lumba yang pada saat itu sepertinya jumlah penumpangnya melebihi kapasitas yang seharusnya dan lajunya sangat pelan bagai siput, para penumpangnya bertumpuk di bagian atas kapal seperti suasana mudik lebaran. Kapal kami ternyata tidak transit di Pulau Payung seperti yang biasa dilakukan sehingga kami tiba lebih cepat dari jadwal biasanya yaitu pukul 08.50.

Ketika tiba di Pelabuhan Pulau Tidung
Sampai di Pelabuhan Pulau Tidung, ada pemandangan yang kurang sedap dipandang mata yaitu banyak sampah yang menyelimuti permukaan air laut di sekitar pelabuhan. Banyak juga para penumpang kapal lain yang juga ikut turun dari kapal sementara penumpang lain sibuk membeli tiket untuk bisa kembali pulang. Pokoknya suasana pada saat itu memang mirip sekali pasar tumpah. Banyak para pendatang yang terlihat beristirahat di penginapan mereka sambil berbincang-binvang. Namun ada juga beberapa diantaranya yang masih terlihat sibuk mondar-madir kebingungan mencari tempat penginapan yang pada saat itu sudah sangat penuh (full book). Yang menjadi tempat penginapan adalah rumah-rumah penduduk yang dialih fungsikan menjadi penginapan yang per harinya harga normalnya adalah sekitar Rp 150.000-300.000. Tetapi apabila peak season, harga penginapan bisa melonjak tinggi.

Kesibukan di Pulau Tidung
Hal pertama yang kami cari ketika sampai di Pulau Tidung adalah toilet karena kami memutuskan untuk mencari areal yang tepat untuk membangun tenda. Harga toilet sekitar Rp 2.000. Setelah berhasil menemukan toilet, kami menelusuri seisi pulau termasuk Pulau Tidung Kecil. Untuk menuju Pulau Tidung Kecil, kita harus melewati Jembatan Cinta. Berbeda dengan sebelumnya, kondisi jembatan cinta sekarang terlihat lebih bagus dan dibeton sehingga memudahkan pengunjung untuk melintasinya. Berbeda dengan kondisi di Pulau Tidung Besar,di Pulau Tidung Kecil suasananya sangat lenggang layaknya hutan. Hanya sedikit orang yang terlihat menelusuri Pulau Tidung Kecil karena memang terlihat cukup jauh bagi mereka yang jarang jalan. Di Pulau Tidung Kecil ini, memang terlihat beberapa tenda yang berdiri tegak di dekat pantainya. Apabila membangun tenda di Pulau Tidung Kecil ini rasanya seperti memiliki private beach namun jangan salah ternyata mereka yang membangun tenda di tempat ini ternyata dipunguti biaya sewa oleh orang yang tidak jelas memiliki wewenang untuk memungut uang sewa yaitu sebesar Rp 25.000.

Untungnya kami tidak memutuskan untuk membangun tenda di Pulau Tidung Kecil karena sepi dan aksesnya sangat jauh dari Pulau Tidung Besar yang menyediakan banyak fasilitas yang memberi kemudahan bagi kami terutama jika lapar hehehe....

Pulau Tidung Kecil (atas) dan Pulau Tidung Besar (bawah)
Oya perjalanan kembali ke Pulau Tidung Besar melewati Jembatan Cinta aku manfaatkan untuk menyaksikan berbagai bentuk permainan air seperti Banana Boat, Donut Boat, kano, Snorkeling, dan lompat dari jembatan cinta. Terlihat cukup menarik sehingga aku berniat untuk mencoba salah satunya setelah menemukan tempat untuk membangun tenda. 

Di sekitar Jembatan Cinta
Setelah mencari-cari akhirnya kami mendapatkan tempat strategis untuk membangun tenda yaitu di belakang halaman rumah seorang ibu pemilik warung yang bernama Ibu Dedeh. Tempat kami membangun tenda ini berhadapan langsung dengan laut yang agak jarang dilalui oleh para pengunjung dan ada juga tim lain yang juga membangun tenda di sekitar tempat kami membangun tenda. kami tidak dipungut uang sewa seperti yang terjadi di Pulau Tidung Kecil. Sebagai ucapan terima kasih, kami membeli makanan yang dijual oleh ibu pemilik warung seperti teh, kopi, indomie, pisang goreng, dan kelapa muda.Sambil membangun tenda, kami membeli es kelapa muda untuk mengurangi rasa haus di siang hari tersebut, eh yang datang bukannya es kelapa muda karena ternyata tidak ada es akibat dari semalam yang lalu listrik di Pulau Tidung ini mati karena berdasarkan penelusuran lebih lanjut ditemukan bahwa ternyata ada yang mencuri kabel listrik di bawah laut yang digunakan untuk menyalurkan listrik dari Jakarta ke Pulau ini (tega banget ya oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut).

                                 

Waktu menunjukkan pukul 13.00 dan saatnya kami mencari santapan makan siang. Kami membawa barang-barang berharga dan meninggalkan yang kurang penting di dalam tenda. Kami memutuskan untuk mencoba makanan sea food yang harga sepaket termasuk nasinya RP 15.000. Hasilnya, makanan siang tersebut hanya mampu mengisi sedikit lorong di lambung kami karena porsinya sedikit dan tidak nendang. Walaupun demikian, makanan siang tersebut cukup membuat perut kami tidak berteriak kelaparan. Setelah membeli makan siang, kami kembali menuju tempat kami membangun tenda tapi bukan melalui jalan umum melainkan dengan menelusuri pantai karena kalau kami menggunakan jalan umum, banyak sekali orang-orang yang berjalan kaki, menggunakan sepeda, maupun menggunakan bentor yang berlalu lalang. Selama petualangan kami di Pulau Tidung kami tidak menyewa sepeda yang harga sewa per harinya sekitar Rp 20.000 karena kami rasa lebih menyenangkan berjalan kaki (lebih hemat...hehehe).

Markisa Hutan dan Menu makan siang
Setelah sampai di tenda, aku memutuskan untuk tidur-tidur di atas pasir yang cukup teduh oleh lindungan pohon kelapa karena kalau beristirahat di tenda, rasanya sangat panas karena kebetulan tenda yang kami bawa adalah tenda gunung yang lebih optimal fungsinya untuk menyimpan panas ketika berada di pegunungan yang dingin sehingga sebenarnya tidak sesuai digunakan untuk kemping di pantai. Sambil tiduran di pasir, aku mengamati suasana di sekitar pulau, aku baru sadar bahwa betapa malangnya pohon-pohon kelapa di pulau ini karena hampir tidak bersisa buahnya karena semuanya diambil untuk dijual memenuhi permintaan es kelapa muda untuk para pengunjung di pulau ini. Ada rasa sedih juga sih soalnya tadi aku menjadi salah satu penyebab nasib malang yang dialami oleh keluarga kelapa karena aku adalah salah satu orang yang dimaksud hiks...maaf ya kelapa.

Setelah sejam beristirahat, aku mulai terusik oleh suara speed boat di pantai sebelah yang menjadi areal hiburan permainan air. Oleh karena itu pukul 14.00 aku memutuskan untuk mencoba permainan air tersebut. Awalnya aku ingin mencoba untuk snorkeling, tetapi setelah dipikir-pikir rasanya kurang menarik kalau memilih snorkeling karena kita perlu menambah biaya untuk menyewa perahu agar bisa sampai ke spot snorkeling yang keren. Akhirnya diputuskanlah untuk mencoba Donut Boat.

Awalnya, ketika melihat pengunjung lain mencoba permainan ini sepertinya tidak terlalu menegangkan namun setelah akhirnya mencoba sendiri ternyata rasanya sangat menegangkan terutama bagi orang yang baru pertama kali mencoba permainan air ini. Dengan menggunakan perahu karet yang berbentuk kue donut yang berkapasitas 2 orang, kami ditarik menggunakan speed boat yang lalu menarik dan memutar-mutarkan perahu karet kami. Aku akhirnya terlempar sekitar 2 meter dari  donut boat karena ternyata aku tidak kuat memegang pegangan tangan di perahu tersebut sehingga hal tersebut juga membuat rekanku terlempar juga dari perahu karena perahu menjadi tidak seimbang saat aku terlempar. Awalnya kaget saat akhirnya terlempar, tetapi aku ingin mencoba lagii meskipun Bapak penarik speed boat tidak melajukan kan speed boat sekencang sebelumnya. Waktunya singkat sekali untuk permainan donut boat ini yaitu sekitar 4 menit. Walau 4 menit tetapi menegangkan oiii... Kita perlu membayar Rp 35.000/orang untuk bisa mencoba permainan ini.

Selanjutnya aku mencoba untuk meloncat dari jembatan cinta. Dari bawah terlihat bahwa melompat dari jembatan cinta bukanlah hal yang sulit. Namun setelah berada di atas jembatan cinta, jantung berubah  berdetak kencang dan kaki rasanya susah untuk dilangkahkan untuk melompat ke air. Banyak juga orang-orang termasuk cowok-cowok yang tidak memiliki keberanian untuk melompat dan memilih untuk mundur meskipun sudah ditantang oleh rekan-rekan mereka. Aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak boleh mundur dan akhirnya setelah 30 menit mencoba meyakinkan diri barulah aku akhirnya bisa melompatkan kaki dan nyebur ke dalam air. Oya saat lompat dari jembatan cinta ini sebaiknya bagian tubuh yang sampai terlebih dahulu di air adalah bagian kaki karena kalau bagian lain yang sampai seperti badan, pantat, maupun muka makanya rasanya akan sakit sekali. Selain itu kita juga perlu memperhatikan kondisi sebelum kita melompat karena di bawah jembatan cinta juga merupakan area lalu lintas permainan banana boat jadi harus berhati-hati dan jangan sampai terlindas banana boat ya....

Setelah melalui saat-saat menegangkan, aku mencoba mencari permainan air yang lebih santai yaitu menggunakan kano menuju ke daerah pantai yang lebih ke tengah laut. 1 kano harga sewanya adalah Rp 50.0000/setengah jam tetapi menurutku kita bisa memakai lebih dari setengah jam karena para penyedia kano biasanya tidak akan menghitung dengan detail waktu sewa yang kita gunakan. Untuk menuju pulau kecil di tengah laut sebenarnya bisa dilakukan dengan jalan kaki dan tidak harus dengan menggunakan kano namun kita harus hati-hati berjalan d tengah laut karena karangnya agak runcing dan menyakitkan kaki kita dan kalau beruntung kita bisa juga menemukan bulu baib yang berbahaya kalau seandainya terinjak oleh kaki kita.

Setelah puas dan hari mulai beranjak senja, kami mandi di toilet umum. Ternyata airnya di pindahkan secara manual dengan ember menuju ember penyimpan air di dalam toilet. Mereka memiliki sumur kecil sebagai sumber air tawar untuk mandi di pulau tersebut. Setelah membersihkan diri, tidak lupa aku membeli jagung bakar seharga Rp 7.000/porsi. Bule-bule juga terlihat sangat menikmati jagung bakar seusai menikmati berbagai jenis permainan air. Lalu sambil menikmati jagung, barulah aku menikmati senja di pinggir pantai tempat tenda berdiri. Wah suasananya sangat syahdu, meskipun dari jauh masih terdengar bunyi bel sepede-sepeda yang kring kring lalu lalang.

Setelah beristirahat di tenda dan melalui pergantian hari dari siang menuju malam. Aku pun  keluar tenda untuk menyaksikan suasana pulau di malam hari. Ternyata di balik suasana gelap yang menyelimuti perairan di sekitar pantai, ada seberkas cahaya biru yang kerlap kerlip muncul di bibir pantai. Ternyata setelah aku telusuri, adalah cahaya yang dihasilkan oleh binatang laut yang sangat kecil sekecil rayap namun memiliki bentuk tubuh seperti udang dan transparan. Ketika malam binatang-binatang tersebut menghasilkan cahaya bak bintang di pantai.

Ini dia si bintang yang bersinar di bibir pantai kala malam
Setelah menyaksikan keajaiban tersebut, kami mencari santapan makan makan malam yang bisa nendang perut. Akhirnya diputuskanlah untuk mencicipi hidangan makanan laut di Pondok Sea Food yang ternyata memang benar porsinya cukup kuat untuk menendang perut dengan harga yang cukup sesuai. Jumlah pembeli di warung Pondok Sea Food ini semakin malam semakin banyak hanya saja kasian karena ternyata koki yang memasak hanya 1 orang dan ia akhirnya dibantu oleh koki-koki dadakan yang ia tugaskan melayani kebutuhan pembeli sementara ia sendiri khusus menangani memasak menu makanan yang dipesan pembeli. Setelah puas barulah kami pulang menuju tenda.

Menu makan malam yang lezat dan "nendang"
Sampai tengah malam, masih banyak pengunjung yang bersenda gurau sementara udara di sekitar pantai tidak kunjung menjadi sejuk ketika aku tidur di tenda meskipun hari sudah semakin larut malam. Sambil tidur, aku mengipas-ngipaskan diri dengan menggunakan piring plastik milik ibu warung yang beralih fungsi menjadi kipas. Aku akhirnya membuka pintu tenda agar ada udara laut yang masuk mengsirkulasi udara di dalam tenda yang panas. Untungnya tidak ada nyamuk sehingga untuk satu sisi kami aman dari serangan nyamuk. Menjelang subuh, angin laut bertiup semakin kencang dan membentur-benturkan tenda kami dari belakang. Kami sempat khawatir kalau seandainya tenda kami roboh tetapi menjelang pagi tenda kami bisa melalui semua goncangan angin laut yang cukup ganas malam itu.

Pukul 05.00 orang-orang sudah mulai bangun. Ada yang berjalan kaki dan ada yang menggunakan sepeda yang tujuan mereka rata-rata adalah menuju ke jembatan cinta untuk melihat sun rise. Aku sendiri merasa tidak perlu menyaksikan sun rise langsung dari jembatan cinta karena dengan keluar tenda aku sebenarnya sudah bisa melihat suasana matahari terbit. Meskipun bisa melihat langsung bagaimana suasana matahari terbit namun keindahannya kurang jelas terlihat apabila dibandingkan kita melihat langsung sun  rise ketika kita berada di puncak pegunungan. Sambil menikmati suasana matahari terbit, aku menyempatkan diri bermain air dan pasir, mengenang masa kecil dulu ketika sering bermain ke pantai ketika sore tiba di pantai dekat rumahku di Bali. Aku mencoba mengumpulkan beberapa kerang dan klomang dan melihat bagaimana klomang berlomba bersama teman-temannya menuju ke area pantai yang lebih jauh ke dalam sebelum air laut surut. Apabila mereka tidak berhasil menuju ke laut tepat waktu, mungkin saja hidup mereka berakhir oleh teriknya sinar matahari di laut kala siang hari datang.

Bercanda dengan angin, pasir, riak, kerang dan klomang
Setelah puas, aku menikmati segelas kopi hangat dan pisang goreng di pinggir pantai. Ibu pemilik warung tempat aku mendirikan tenda, dengan berbaik hati mengantarkan pesanan makananku langsung ke tenda sehingga rasanya seperti dilayani di rumah sendiri hahaha....

Menikmati segelas kopi dan pisang goreng di pagi hari
sambil menanti  matahari terbit
                                 
Pukul 08.30 kami membongkar tenda dan siap-siap menuju pelabuhan untuk membeli tiket pulang, namun sebelumnya kami mengucapkan terima kasih kepada ibu pemilik warung yang baik yang telah mengijinkan kami membangun tenda di halaman belakang rumahnya. Oya menurut Pak Pepen yang kutanya di hari sebelumnya menyarankan aku untuk membeli tiket untuk pulang di pagi hari karena biasanya tiket untuk keberangkatan pukul 13.00 untuk kelas bisnis cepat ludes terjual. Benar saja pada saat pukul  09.00 kami tiba di pelabuhan, tiket kapal yang kami ingin pesan ternyata sudah habis terjual pada pukul 08.00. Kami pun membeli tiket kapal kelas ekonomi seharga Rp 33.000 yang ternyata tanpa kami diduga itu adalah tiket kapal yang dijual sebelum keberangkatan kapal sehingga setelah membeli tiket kami langsung naik ke kapal lumba-lumba yang bernama Bhisma. Para penumpang di kapal tersebut cukup banyak namun tidak sepenuh seperti yang kami lihat sebelumnya ketika kami mau berangkat menuju ke Pulau Tidung. Kami memilih untuk duduk di haluan kapal beserta para penumpang lain yang sepertinya sama seperti kami yang ke Pulau Tidung dan menginap di tenda karena terlihat dari tas keril yang mereka bawa. Untuk berjaga-jaga aku mengambil life jacket sendiri ke bagian bawah kapal sekaligus aku jadikan alas tempat duduk jikalau nanti ada benturan antara kapal dengan arus yang bisa membuat aku tidak nyaman duduk.

Perjalanan pulang dengan kapal  Bhisma
Keberangkatan kapal kami sempat tertunda 30menit karena terjadi sedikit kerusakan mesin padahal awalnya kapal kami sudah mau keluar pelabuhan. Untungnya kerusakan kapal diketahui sebelum kapal melangkah keluar lebih jauh dari pelabuhan. Setelah ABK memperbaiki kerusakan mesin, barulah kapal kami melaju pelan keluar pelabuhan. Ini adalah pengalaman pertama kali bagiku duduk di haluan kapal dan aku bisa melihat jelas bagaimana arus laut bergulung-gulung mendorong perahu kami bergerak lebih cepat. Perubahan lukisan langit pun sangat jelas terlihat. Di sisi lain teriknya matahari mulai membakar kulit dan mengubahnya perlahan-lahan menjadikannya belang-belang seperti zebra. Namun itu bukan masalah bagi aku karena tergantikan dengan pemandangan di tengah laut yang sangat indah. Sempat juga terlihat ikan terbang yang melintas di depan kapal kami. Di kejauhan ada juga keluarga lumba-lumba yang ikut berpacu dengan ombak menuju tujuan mereka.

Setelah 3 jam mengarungi lautan, sampailah kami di Pelabuhan Muara Angke yaitu sekitar pukul 12.00. Suasana di Pelabuhan Muara Angke jauh berbeda dari Pelabuhan Kali Adem, terlihat lebih sembrawut dan bau anyir ikan bercampur sampah tercium dimana-mana.

Dari Pelabuhan Muara Angke kami memutuskan untuk membeli cumi-cumi dan ranjungan yang dijual sekitar pelabuhan. Namun sepertinya di tempat ini banyak para penjual yang bertindak curang dalam berjualan karena berat cumi-cumi dan ranjungan yang kami beli tidak sesuai dengan jumlah yang kami beli. Apa boleh buat, kami hanya bisa menerima karena rata-rata budaya kecurangan ini sepertinya sudah menjadi hal biasa di tempat ini. Setelah berbelanja, barulah kami pulang ke rumah masing-masing.





PARADISA (PARADE DI DESA)



Dimana Langit Dipijak Disitu Bumi Dijunjung. Mungkin itulah salah satu peribahasa yang bisa menggambarkan cuplikan dari kegiatan Paradisa di Semi Palar, dimana dalam kehidupan keseharian kita harus menghormati budaya dan adat istiadat dimana kita tinggal.

                                  

Seiring berkembangnya jaman dan majunya teknologi, kita sebagai bangsa Indonesia tanpa disadari sering hanyut dan terbawa arus budaya asing yang tidak semuanya baik diterapkan di negeri tercinta kita ini. Budaya asli kita seakan-akan tenggelam oleh gemerlapnya budaya asing yang menyilaukan mata.

Salah satu tujuan dari kegiatan Paradisa ini adalah membangun dan menghidupkan kembali cahaya budaya tradisional pada diri anak bangsa. Budaya tradisional ini merupakan "intangible heritage" yang perlu senantiasa dijaga kelestariannya. Kegiatan Paradisa ini cukup sederhana yaitu mengajak anak-anak bermain dalam suasana budaya Sunda. Meskipun saya sendiri bukan orang Sunda, tetapi saya mencoba untuk ikut belajar bersama anak-anak tentang budaya Sunda. Paling tidak mulai belajar berbahasa Sunda dan mengenal beberapa lagu dan permainan tradisional khas tanah Sunda (ulin di lembur).

                                 

Pada kegiatan ini, anak-anak diajak mengenakan pakaian tradisional seperti "baju pangsi" untuk anak laki-laki dan "kain/kebaya" untuk anak perempuan. Di awal kegiatan, anak-anak diajak berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Sunda seperti mengucapkan salam (wilujeng enjing), permisi (punten), maupun terima kasih (hatur nuhun). 

Lalu anak-anak diajak mencari  "Akang Kabayan" dan "Nyi Iteung". Mereka berjalan keliling komplek di sekitar sekolah untuk menanyakan kepada penduduk sekitar tentang dimana keberadaan Akang Kabayan dan Nyi Iteung. Ternyata mereka antusias menanyakan keberadaan Akang Kabayan dan Nyi Iteung dengan menggunakan Bahasa Sunda yang paling sederhana seperti "Punten, aya Kabayan?". Bahkan ada juga anak yang mengucapkan kata "punten" kepada binatang yang mereka lihat selama perjalanan.


Akhirnya anak-anak berhasil menemukan Akang Kabayan dan Nyi Iteung di lapangan rumput. Akang Kabayan ternyata sedang sibuk mengurus ayamnya dan Nyi Iteung ternyata sedang sibuk menapih beras dan menyapu halaman. Anak-anak terlihat bersemangat ingin memberi makan beras kepada ayam milik Akang Kabayan. Ada juga anak-anak yang mencoba membantu Nyi Iteung untuk membersihkan beras dan menyapu halaman.




Setelah selesai berkenalan dengan Akang Kabayan dan Nyi Iteung, anak-anak diajak makan bersama atau dalam tradisi Sunda biasa disebut dengan "Bancakan". Dengan beralaskan daun pisang, anak-anak beserta kakak-kakak makan nasi liwet bersama dengan lauk pauk yang ala kadarnya seperti tempe, tahu, ikan asin, lalapan, dan sambel tomat. Oya ada juga pisang (cau) sebagai pencuci mulut. Mungkin bagi anak-anak, itu adalah moment pertama mereka makan bersama, saling berbagi dan sesekali bercerita tentang  bagaimana rasa makanan yang sedang mereka santap. Di awal, ada anak-anak yang sempat mengatakan bahwa mereka tidak suka dan tidak mau makan hidangan desa yang telah disipakan. Namun, setelah diajak mencoba dan melihat teman-teman mereka asyik makan bersama, mereka akhirnya ikut menyantap hidangan tersebut dengan lahapnya. Bahkan, ada juga yang minta tambahan porsi makanan karena menurut mereka rasa makanannya enak.

                                 

                                  


Setelah selesai menyantap hidangan desa, anak-anak mencoba bermain bersama seperti main bakiak ataupun lompat tali. Ada juga yang sangat antusias ingin lanjut bermain dengan ayam milik Akang Kabayan. Oya anak-anak juga sempat bermain "oray-orayan" dan "kucing tangkap tikus".




Suasana desa dalam kegiatan Paradisa kemarin terasa sangat menyenangkan. Ketika di akhir kegiatan anak-anak ditanya bagaimana tanggapan mereka pada kegiatan Paradisa, mereka menjawab bahwa kegiatan tersebut "seru" dan mereka menantikan kegiatan semacam ini di lain waktu.

Kalau di atas adalah beberapa cuplikan foto dan cerita singkat tentang Kegiatan Paradisa yang dilakukan oleh Kelompok Cemara (TK B) dan Kelompok Kersen (TK A), di bawah ini adalah cuplikan foto Kegiatan Paradisa yang dilakukan oleh Kelompok Jati (PG).